Fenomena “Aneh” Batu Akik
Oleh
: Alik Setiawan
Bagian 2
Batu akik di
kaji dari segi ekonomi dan psikologi
Trend batu akik yang terjadi
belakangan ini, memang berimbas ke bidang ekonomi di suatu daerah. Tak dapat di
pungkiri keramaian tentang batu akik, dapat mendongkrak perekonomian suatu
daerah. Dalam artian dapat meningkatkan pendapatan warga masyarakat yang
bergelut dalam dunia batu akik. Bagaimana tidak trend batu akik di suatu daerah
dapat menciptakan lapangan kerja baru, walaupun dalam jumlah yang tidak
signifikan. Bidang pekerjaan seperti pencari batu, pemoles batu, pembuat ring,
penjual ring, penerjemah corak. Selain itu terdapat juga pedagang yang menjual
alat pendukung pembuatan batu akik. Penjual alat seperti gerinda, alat
pemotong, serbuk intan, minyak zaitun, dan lainnya.
Dapat di indikasikan
pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang timbul akibat trend. Jadi
bukan merupakan pekerjaan tetap, tetapi ada juga yang konsisten dalam dunia
batu akik, dalam artian mereka menjalani pekerjaan tersebut bukan karena trend.
Tetapi dalam praktiknya pekerjaan tersebut dapat memutar roda ekonomi seseorang
yang berkecimpung di batu akik. Bagaimana tidak mereka yang beralih profesi
atau menekuni dagang batu akik secara spontan dapat meraup keuntungan cukup
banyak. Bahkan dari hasil pekerjaan tersebut menghasilkan profit yang lebih
dari pekerjaan lainnya. Maka tidak heran ada individu yang terjun menekuni batu
akik dari nol, karena melihat prospek kedepannya cukup menjanjikan.
Apalagi sekarang segalanya
dipermudah oleh kemajuan teknologi, yaitu dengan adanya jaringan internet yang
terkoneksi melalui telepon seluler. Dengan didukung kemudahan teknologi,
penjualan batu akik dan pernak-pernik lainnya menjadi sangat cepat. Peran
sosial media dapat sebagai ajang jual beli on
line batu akik. Sehingga jual beli tidak menggunakan pola lama yang ruang
lingkupnya terbatas. Sosial media sebagai perpanjangan tangan dalam hal jual
beli yang dapat melintasi batas wilayah. Sehingga dengan adanya trend batu akik
ini dapat menguntungkan secara financial penjualnya, dan kepuasan estetika bagi
para penikmat atau kolektor batu.
Di sisi lain dengan adanya trend
batu akik, pemerintah suatu daerah juga mendukung secara penuh dalam hal
memajukan taraf ekonomi kerakyatan melalui penjualan batu akik. Misalkan
pemerintah daerah Purbalingga mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan batu
akik. Dimana para pegawai negeri sipil (PNS) dilingkungan pemda Purbalingga di
haruskan memakai batu akik khas daerahnya sendiri. Batu akik khas Purbalingga
adalah jenis batu akik Klawing, yang di dapat dari sungai Klawing di kabupaten
Purbalingga. Dengan adanya kebijakan tersebut secara tidak langsung mendongkrak
popularitas batu klawing. Dan berimbas ke roda ekonomi masyarakatnya, dengan
memproduksi batu akik sesuai dengan jumlah pesanan pemda tersebut.
Kebijakan Pemda Purbalingga
ternyata juga di ikuti oleh daerah Brebes, belum lama ini mengeluarkan
kebijakan tentang pemakaian batu akik. Bupati Brebes Idza Priyanti
mengintruksikan pemakaian batu akik di lingkungan Pegawai Pemda Brebes.
Kasusnya sama dengan Purbalingga, di mana peagawai di lingkungan pemda di
haruskan memakai batu akik khas daerah sendiri. Brebes ternyata menyimpan
potensi alam berupa batuan mulia yang tejadi secara geologis di beberapa
wilayahnya. Batu akik khas Brebes di dapat di beberapa tempat seperti
Bulujingkang, Maribaya, Bantarkawung, Salem dan Sirampog. Daerah-daerah
tersebut secara geografis adalah pegunungan dan lembah, sehingga terdapat
batuan mulia yang menjadi ciri khas. Kebijakan Bupati tersebut bertujuan secara
ekonomis dan memunculkan kekayaan alam Brebes. Selain itu Bupati juga memberi nama batu akik
yang ada di wilayah Brebes dengan nama “Bawang Merah Mutiara.”. Sebuah nama untuk dapat mendongkrak
popularitas daerah penghasil bawang merah tersebut.
Dengan adanya
trend batu akik tersebut membawa dampak ekonomis di suatu daerah, dan daerah
tersebut mempunyai produk yang khas berupa batu akik. Sungguh fenomena “aneh”
batu akik telah benar-benar berimbas ke segala bidang kehidupan. Selanjutnya
fenomena yang spontan tentang fanatisme atau pemujaan pada suatu benda sudah
cukup lama muncul. Dalam istilah ilmu psikologi financial, fenomena tentang
batu akik atau sejenisnya di sebut dengan istilah “financial mania”. Sebuah fenomena yang
bisa membuat kita semua tenggelam
dalam “kebodohan kolekfif”.
Sejatinya,
fenomena financial mania ini sudah berusia ratusan tahun, terjadi di semua
negara dunia. Dulu terjadi kehebohan tulip mania di Belanda (terjadi sekitar
400 tahun silam). Lalu, yang lebih modern ada yang disebut dengan technology
stocks mania di berbagai bursa saham dunia pada tahun 2000an. Pernah juga
terjadi property mania di USA sebelum mereka crash pada tahun 2008.
Para ahli ilmu financial psychology atau
financial behavior menyebut fenomena financial mania itu dengan istilah “irrational
exuberance”. Sebuah gejala saat
ribuan atau bahkan jutaan orang berbondong-bondong membeli sesuatu karena
dorongan emosi kolektif. Yang acap tidak rasional. Jadi fenomena batu akik yang
terjadi belakangan ini termasuk dalam gejala emosi kolektif. Di mana keinginan
seseorang itu dipengaruhi oleh ligkungan dan kerumuman sekitar. Sehingga dalam
praktinya terkadang mereka mengabaikan hal-hal yang bersifat tidak rasional.
Dalam konteks batu akik ini, ketidakrasionalan dalam hal nilai jual, dan proses
pencarian yang kadang mengabaikan kelestarian lingkungan atau bahkan kriminal.
Maka dari itu manusia kehilangan rasio nya dalam menilai atau menghargai suatu
benda.
Dan kerumunan tersebut menimbulkan eforia yang
berlebihan dan irasional dalam praktinya. Eforia masal kadang membentuk
kegilaan. Saat eforia yang bercampur kegilaan ini meledak, maka harga produk
yang dibeli – entah saham, bunga gelombang cinta atau batu akik bisa melesat puluhan atau bahkan ratusan kali
lipat. Kenapa irrational exuberance mudah
terjadi? Karena manusia itu pada dasarnya amat mudah untuk latah. Mudah meniru
perilaku kerumunan atau “Herd behavior”. Karena manusia pada dasarnya mudah
terpenagruh oleh pihak lain. Fenomena “aneh” tentang batu akik tersebut, secara
analogis akan menggelembung besar bagai balon dan akan pecah (berakhir). Secara
pelan tetapi pasti eforia masal itu akan menjadi bubble dan pecah,
mengakibatkan penyesalan bagi pelakunya.
Itulah landasan
teori yang berkaitan dengan ekonomi yang terjadi dalam fenomena batu akik yang
terjadi di Indonesia. Di mana teori di atas secara fundamental mengambil dari
ilmu psikologi dan sosial. Dalam ilmu
psikologi sendiri terdapat teori yang relevan untuk mengkaji tentang fenomena “aneh” batu akik. Jadi fenomena batu
akik itu berkaitan dengan psikologi sosial, yang memelajari tentang gejala
sosial pada manusia. Menurut ilmu psikologi sosial gejala yang terjadi di
masyarakat kita tentang kecintaan pada batu akik di sebut dengan “perilaku
kolektif”. Perilaku kolektif adalah cara berpikir, berperasaan, dan bertindak
sekumpulan individu yang secara relatif bersifat spontan dan tidak terstruktur
yang berkembang dalam suatu kelompok atau suatu populasi sebagai akibat dari
saling menstimulasi antar individu.
Jadi trend batu akik
yang sekarang sedang booming, termasuk dalam kategori perilaku kolektif. Di
mana individu satu dengan lainnya saling menstimulasi dan yang memengaruhi dalam suatu kerumunan. Stimulan tersebut dapat
di lancarkan dengan persuasi, hiperbola, deskripsi, bujuk rayu, dan unsur mistik. Sehingga individu mudah
terpengaruh ke dalam kerumunan, dan memang dalam diri manusia terdapat herd behavior. Bahkan seringkali
karakteristik perilaku kolektif yang bersifat spontan dan tidak terstruktur
maka perilaku itu menjadi melanggar norma-norma sosial yang sudah mapan. Dalam
artian dengan adanya trend batu akik, tidak menutup kemungkinan terjadi
kejadian seperti pencurian, perampasan, penipuan, perusakan alam, dan hal lain
yang merugikan. Itulah beberapa hal yang melanggar norma mungkin sudah terjadi
dalam fenomena “aneh” batu akik.
Dan perilaku
kolektif tersebut mengkerucut ke perilaku kerumunan yang terpusat pada satu
objek atau benda, dalam konteks ini adalah batu akik. Dalam proses terbentuknya
perilaku kerumunan biasanya di dahului oleh milling,
yaitu proses komunikasi yang mengarah pada suatu pembentukan definisi
situasi yang kemudian mengarah pada kemungkinan tindakan bersama. Dalam konteks
batu akik ini adalah berupa deskripsi tentang batu akik, dari mulai asal-usul,
warna, motif, keguanaan, mistik, dan keistimewaan lainnya. Dan dari paparan
tersebut maka terpengaruhlah individu,
maka akan melakukan kegiatan bersama atau yang mengarah pada kerumunan. Dalam
kerumunan, orang-orang cenderung mudah dipengaruhi (suggestible). Maka mereka cenderung kurang kritis terhadap situasi
dan dalam keadaan siap untuk melaksanakan perilaku yang biasanya dilakukan
dalam keadaan sendiri.
Jadi individu mudah
sekali terpengaruh dengan stimulan dari individu lainnya, maka yang terjadi
adalah keseragaman dalam penikmatan suatu objek. Tetapi apakah dalam konteks
batu akik, semua individu di lingkup yang lebih luas dapat terpengaruh? Apakah
hanya mereka saja yang suka atau senang dengan batu akik? Sebenarnya dalam ilmu
psikologi sosial terdapat pendekatan-pendekatan untuk dapat menjelaskan
dinamika kerumunan. Salah satunya adalah teori pemunculan norma, yang di
cetuskan oleh Ralph H. Turner dan Lewis Killian. Menurut ke kedua tokoh
tersebut, sebenarnya terdapat perbedaan motif, sikap, dan perilaku yang
mendasari anggota-anggota suatu kerumunan. Teori ini mengemukakan bahwa
kerumunan terdiri atas aktivitas utama, aktivitas berhati-hati, pendukung
pasif, pengikut oportunistik, orang yang kebetulan lewat, orang yang ingin
tahu, orang yang tidak simpati, dan para pembangkang.
Jadi dalam kerumunan
“aneh” batu akik ini, tidak semua orang adalah fanatik atau pecinta batu
tersebut. Individu-individu yang terlibat dalam kerumunan tersebut, memasang
sikap seperti yang telah disebutkan di atas. Misalkan dalam pameran batu akik,
orang-orang yang mendatangi even tersebut bisa sebagai aktivis utama, orang
ingin tahu, orang kebetulan lewat dan sebagainya. Maka dari itu dalam menyikapi
fenomena “aneh” batu akik ini, kita sudah tahu bagaimana posisi kita dalam
kerumunan tersebut. Apakah sebagai pelaku utama, sekedar tahu atau bahkan para pembangkang. Semua itu
kembali pada individu masing-masing, akan mengikuti dan hanyut dalam eforia
batu akik. Atau akan mengambil sikap lain seperti ingin tahu saja, masa bodoh,
atau bahkan jadi pembangkang penghujat.
Semiotika
dalam batu akik
Bahasan selanjutnya
adalah mengkaji fenomena batu akik dari sudut pandang semiotika. Yang menurut
Umberto Eco, semiotika adalah sebuah disiplin ilmu yang dapat menyatakan
kebenaran sekaligus kebohongan. Masih menurut Eco “pada prinsipnya adalah
disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
mendustai, mengelabui, atau mengecoh”. Tetapi bukan berarti premis dari Eco
tersebut, tidak dapat di pertanggungjawabkan. Tetapi dunia ini memang dipenuhi
tanda-tanda semiotik, maka dari itu semiotika dapat masuk ke segala sesuatu. Masalah
subtansi teorinya, dapat dipercaya atau tidaknya, tergantung pada pembaca
melihat dari sudut mana. Premis dari Umberto Eco tersebut sebagai prolog,
sebelum membahas lebih jauh tentang batu akik dari sudut pandang semiotika. Tetapi
dalam bahasan kali ini yang akan di acu adalah pada teori Roland Barthes,
tentang makna denotasi dan konotasi serta tanda ikonik.
Batu akik
kedudukannya dalam semiotika, termasuk dalam kategori tanda, lebih tepatnya
adalah tanda non verbal. Jadi secara sederhana , tanda non verbal dapat dia
artikan semua tanda yang bukan kata-kata. Sebagi contoh benda-benda yang
termasuk non verbal seperti baju, buah pinang, jam, pohon kelapa. Tanda-tanda
tersebut nantinya berkaitan dengan makna konotatif dan juga simbolis. Dalam
konteks tren batu akik ini, batu akik termasuk kategori tanda non verbal.
Sedangkan menurut jenis tandanya, batu akik dapat di kategorikan benda yang
bermakna kultural dan ritual. Hal ini di
karenakan dalam benda tersebut terkandung penanda dan petanda.
Selanjutnya dalam
semiotika, suatu tanda pada dasarnya menyimpan makna. Dalam hal ini adalah
makna denotasi dan konotasi. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna
khusus dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran
sebuah petanda. Sebaliknya, makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian
bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan
rasa dan nilai tertentu. Makna detotatif berarti makna sesungguhnya pada tanda
non verbal, yaitu batu akik. Jadi tanda tersebut menunjuk ke referen
sesungguhnya, bukan makna di balik tanda tersebut.
Jadi makna denotatif
dari batu akik adalah pengertian yang sesuai dengan kamus dan pengertian secara
umum. Batu akik jenis batu alam yang terjadi secara geologis dan berwarna, dan
biasanya dapat di jadikan perhiasan atau asesoris. Penjelasan di atas adalah
makna denotatif dari sebuah batu akik, dan tidak ada tedensi apa-apa pada batu
tersebut. Karena masih pada tataran denotatif, maka makna belum muncul atau
belum di kontruksi secara subjektif. Maka makna denotatif adalah makna dasar dari sebuah tanda, dan biasanya
kalangan umum atau awam mengetahui. Jadi dalam konteks semiotika ini, batu akik
dalam tataran denotatif belum memunculkan makna kultural.
Jika kita mengucapkan sebuah kata yang
mendenotasikan suatu hal tertentu maka
itu berarti kata tersebut mau menunjukan, mengemukakan, dan menunjuk pada hal
itu sendiri. Dalam tataran denotatif, batu akik di pahami sebagai batu yang
memilki warna, keras, menarik, berbeda dengan batu biasa karena kandungan
mineralnya. Sehingga pemaknaannya hanya sebatas pada pada tanda non verbal yang
menempel. Tanda yang khas dari batu akik tersebut adalah warna, corak, tekstur,
bentuk, tingkat kekerasan. Itulah tanda denotatif yang membangun tanda pada
batu akik, sehingga batu tersebut adalah sebuah batu tidak bermakna apa-apa. Dalam
pemakaian atau penggunaan batu akik tersebut, tanpa ada kontruksi makna atau
embel-embel tertentu. Pemakaian dan penikmatannya berdasarkan unsur non verbal,
yang menimbulkan efek artistik dan estetik.
Di atas sudah
dijelaskan tentang makna denotatif, Lantas bagaimana dengan tanda konotatif
dalam konteks batu akik yang sedang tren. Makna konotatif sebuah kata dipengaruhi
dan ditentukan oleh dua lingkungan tekstual
dan lingkungan budaya. Pada
konteks batu akik yang relevan adalah makna konotatif yang berkaitan dengan
budaya. Supaya jelas kedudukan batu akik dalam konteks konotatif budaya, maka akan di ambil salah
satu contoh yaitu bunga teratai. Kata teratai bagi umumnya bangsa Indonesia
hanya akan mengungkapkan makna konotatif yang berhubungan dengan keindahan
belaka. Akan tetapi, di India bunga itu akan memiliki makna konotatif lain,
karena baik dalam agama Hindu maupun Budha, bunga teratai memilki arti
perlambang (simbol) yang dalam, yang berhubungan dengan kedua agama tersebut.
Sebagaimana yang
telah disebutkan di atas bahwa makna konotatif, sudah mendapat penambahan dan
nilai tertentu yang berkaitan dengan budaya suatu teritorial . Jadi dalam kaitan
ini batu akik yang sedang trend, dalam pemakaiannya terdapat makna. Memakai
atau mengenakan batu akik tidak hanya memakai sebuah batu, tetapi juga memakai makna
pada batu tersebut. Jadi ketika mengenakan batu tersebut, kita juga secara
simbolis menunjukan makna tertentu. Makna konotatif yang menempel pada batu
akik, yang sudah biasa di masyarakat adalah batu bertuah, perdukunan, orang
tua, kesaktian, tolak bala dll.
Makna konotatif tersebut
sudah terkontruksi dalam budaya di Indonesia. Sehingga ketika memakai batu
tersebut, identik dengan hal-hal tersebut di atas. Itulah makna konotatif yang
sudah lekat dengan batu akik di teritorial Indonesia. Tetapi dengan adanya
trend batu akik sekarang ini ada pergeseran makna dari batu tersebut. Makna
yang muncul dari batu tersebut telah mendapat penambahan dan nilai. Dalam
konteks trend batu akik, makna lama yang berbau tua dan klenik telah terkikis.
Yang di munculkan adalah makna baru, sperti batu yang keren, batu gaul, batu
kekinian, anak muda, batu cantik, modern dll. Makna konotatif yang di munculkan
dengan fenomena “aneh” batu akik tersebut, supaya dapat menjaring pasar yang
lebih luas. Jadi penikmat batu akik tidak hanya dari kalangan tua, tetapi juga
sudah merambah ke segala usia dan gender.
Maka dari itu makna
dalam sebuah batu akik tersebut, terjadi pergeseran makna yang bertujuan untuk
menjaring pasar. Disamping dalam pemaknaan denotatif, batu akik sendiri dalam
bentuk dan warnanya memang menarik. Mengenai bentuk, warna, dan motif dalam
batu akik tersebut juga berkaitan dengan semiotika. Yaitu tentang motif yang di
munculkan akibat di olah sedemikian rupa. Sehingga muncullah motif-motif yang
ikonik, yang merujuk ke tanda-tanda yang sudah ada. Ikon sendiri adalah tanda
dimana penanda memiliki koneksi langsung (non arbiter) dan simulatif dengan
penanda atau sumber acuannya.
Jadi ikonisitas pada
motif batu akik, tidak bersifat sewenang-wenang, tetapi mengacu pada penanda
yang ada. Selain itu proses ikonisitas melibatkan persepsi manusia dalam
mengartikan sebuah pola atau penanda. Ikonisitas membuktikan bahwa persepsi
manusia sangatlah tinggi terhadap pola-pola berulang dalam bentuk warna,
bentuk, dimensi, gerakan, bunyi, rasa dan seterusnya. Pola gambar yang di
munculkan pada batu akik,mengacu ke tanda yang sudah ada. Ikonisitas pada batu
akik seperti Nyi Roro Kidul, Monas, naga, naga menyembur api, buaya, wajah
wanita, wajah misterius, orang berjenggot dll. Kesemuanya itu adalah bentuk
ikon yang muncul dari batu akik, akibat dari proses pembentukan secara teliti.
Dalam konteks tanda
yang ikonik, gambar pada batu akik tersebut tidak mengandung makna yang berlebihan.
Berlebihan di sini adalah mengandung unsur klenik, mistik, mitos, legenda,
pemujaan atau lainnya. Jadi bentuk ikonik tersebut hanya pola gambar, yang
telah dipersepsi oleh manusia itu sendiri. Proses penafsiran atau pemaknaannya hanya pada
sebatas tataran estetik dan denotatif, tidak ada tedensi apa-apa pada motif
batu tersebut. Hanya saja dalam budaya masyarakat kita, sering di kaitkan
dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Dan membingkai ikonisitas tersebut dengan
sugesti-sugesti, yang memang kadang belum dapat dipastikan. Semua itu kembali
pada individu masing-masing, untuk memaknai bentuk ikonik tersebut.
Jadi motif atau
corak yang muncul pada batu tersebut, hanyalah bentuk ikonik yang sengaja
dimunculkan. Jadi jangan sampai ikonisitas tersebut menjadi bentuk pembelokan
makna. Menikmati batu akik yang ikonik, hendaknya tidak lebay atau berlebihan. Pola atau motif yang muncul akibat
pengolahan dari batu tersebut, hendaknya di sikapi secara wajar. Pola dalam
batu tersebut tidak ada tedensi apa-apa, yang ada hanya ke unikan dari sebuah
batu. Bentuk yang ikonik tidak akan memberikan efek-efek klenik yang tidak
masuk akal. Walaupun pada akhirnya kembali pada individu masing-masing dalam
proses pemaknaannya. Fenomena “aneh” batu akik ini, tergantung kita memandang
dari sudut mana. Jadi dalam praktiknya pemakaian atau penggunaan batu tersebut
hendakya jangan lebay. Fenomea “aneh”
ini tidak akan aneh, ketika kita menilai berdasarkan rasio dan logika. []
Referensi :
Ø www.Wikipedia.com
Ø www. http://obrolbatu.com
Ø www. romahadi.wordpress.com
http://strategimanajemen.net
Ø Psikologi
Sosial, suatu pengantar, Dr. Fattah
Hanurawan, 2010
Ø Pesan,
Tanda, dan Makna, Marcel
Danesi, 2011
Ø Pengantar
Semiotika, Arthur Asa Berger, 2010
Ø Hipersemiotika,
Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yasraf Amir Piliang, 2003
Ø Semiotika
Komunikasi, Drs. Alex
Sobur, M.Si. , 2009