Sunday, 7 June 2015

Fenomena “Aneh” Batu Akik, Bagian 2


Fenomena “Aneh” Batu Akik
Oleh : Alik Setiawan
Bagian 2

Batu akik di kaji dari segi ekonomi dan psikologi                   
Trend batu akik yang terjadi belakangan ini, memang berimbas ke bidang ekonomi di suatu daerah. Tak dapat di pungkiri keramaian tentang batu akik, dapat mendongkrak perekonomian suatu daerah. Dalam artian dapat meningkatkan pendapatan warga masyarakat yang bergelut dalam dunia batu akik. Bagaimana tidak trend batu akik di suatu daerah dapat menciptakan lapangan kerja baru, walaupun dalam jumlah yang tidak signifikan. Bidang pekerjaan seperti pencari batu, pemoles batu, pembuat ring, penjual ring, penerjemah corak. Selain itu terdapat juga pedagang yang menjual alat pendukung pembuatan batu akik. Penjual alat seperti gerinda, alat pemotong, serbuk intan, minyak zaitun, dan lainnya.
Dapat di indikasikan pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang timbul akibat trend. Jadi bukan merupakan pekerjaan tetap, tetapi ada juga yang konsisten dalam dunia batu akik, dalam artian mereka menjalani pekerjaan tersebut bukan karena trend. Tetapi dalam praktiknya pekerjaan tersebut dapat memutar roda ekonomi seseorang yang berkecimpung di batu akik. Bagaimana tidak mereka yang beralih profesi atau menekuni dagang batu akik secara spontan dapat meraup keuntungan cukup banyak. Bahkan dari hasil pekerjaan tersebut menghasilkan profit yang lebih dari pekerjaan lainnya. Maka tidak heran ada individu yang terjun menekuni batu akik dari nol, karena melihat prospek kedepannya cukup menjanjikan.
Apalagi sekarang segalanya dipermudah oleh kemajuan teknologi, yaitu dengan adanya jaringan internet yang terkoneksi melalui telepon seluler. Dengan didukung kemudahan teknologi, penjualan batu akik dan pernak-pernik lainnya menjadi sangat cepat. Peran sosial media dapat sebagai ajang jual beli on line batu akik. Sehingga jual beli tidak menggunakan pola lama yang ruang lingkupnya terbatas. Sosial media sebagai perpanjangan tangan dalam hal jual beli yang dapat melintasi batas wilayah. Sehingga dengan adanya trend batu akik ini dapat menguntungkan secara financial penjualnya, dan kepuasan estetika bagi para penikmat atau kolektor batu.
Di sisi lain dengan adanya trend batu akik, pemerintah suatu daerah juga mendukung secara penuh dalam hal memajukan taraf ekonomi kerakyatan melalui penjualan batu akik. Misalkan pemerintah daerah Purbalingga mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan batu akik. Dimana para pegawai negeri sipil (PNS) dilingkungan pemda Purbalingga di haruskan memakai batu akik khas daerahnya sendiri. Batu akik khas Purbalingga adalah jenis batu akik Klawing, yang di dapat dari sungai Klawing di kabupaten Purbalingga. Dengan adanya kebijakan tersebut secara tidak langsung mendongkrak popularitas batu klawing. Dan berimbas ke roda ekonomi masyarakatnya, dengan memproduksi batu akik sesuai dengan jumlah pesanan pemda tersebut.
Kebijakan Pemda Purbalingga ternyata juga di ikuti oleh daerah Brebes, belum lama ini mengeluarkan kebijakan tentang pemakaian batu akik. Bupati Brebes Idza Priyanti mengintruksikan pemakaian batu akik di lingkungan Pegawai Pemda Brebes. Kasusnya sama dengan Purbalingga, di mana peagawai di lingkungan pemda di haruskan memakai batu akik khas daerah sendiri. Brebes ternyata menyimpan potensi alam berupa batuan mulia yang tejadi secara geologis di beberapa wilayahnya. Batu akik khas Brebes di dapat di beberapa tempat seperti Bulujingkang, Maribaya, Bantarkawung, Salem dan Sirampog. Daerah-daerah tersebut secara geografis adalah pegunungan dan lembah, sehingga terdapat batuan mulia yang menjadi ciri khas. Kebijakan Bupati tersebut bertujuan secara ekonomis dan memunculkan kekayaan alam Brebes.  Selain itu Bupati juga memberi nama batu akik yang ada di wilayah Brebes dengan nama “Bawang Merah Mutiara.”. Sebuah nama untuk dapat mendongkrak popularitas daerah penghasil bawang merah tersebut.
Dengan adanya trend batu akik tersebut membawa dampak ekonomis di suatu daerah, dan daerah tersebut mempunyai produk yang khas berupa batu akik. Sungguh fenomena “aneh” batu akik telah benar-benar berimbas ke segala bidang kehidupan. Selanjutnya fenomena yang spontan tentang fanatisme atau pemujaan pada suatu benda sudah cukup lama muncul. Dalam istilah ilmu psikologi financial, fenomena tentang batu akik atau sejenisnya di sebut dengan istilah “financial mania”. Sebuah fenomena yang bisa membuat kita semua tenggelam dalam “kebodohan kolekfif”. Sejatinya, fenomena financial mania ini sudah berusia ratusan tahun, terjadi di semua negara dunia. Dulu terjadi kehebohan tulip mania di Belanda (terjadi sekitar 400 tahun silam). Lalu, yang lebih modern ada yang disebut dengan technology stocks mania di berbagai bursa saham dunia pada tahun 2000an. Pernah juga terjadi property mania di USA sebelum mereka crash pada tahun 2008.
Para ahli ilmu financial psychology atau financial behavior menyebut fenomena financial mania itu dengan istilah “irrational exuberance”. Sebuah gejala saat ribuan atau bahkan jutaan orang berbondong-bondong membeli sesuatu karena dorongan emosi kolektif. Yang acap tidak rasional. Jadi fenomena batu akik yang terjadi belakangan ini termasuk dalam gejala emosi kolektif. Di mana keinginan seseorang itu dipengaruhi oleh ligkungan dan kerumuman sekitar. Sehingga dalam praktinya terkadang mereka mengabaikan hal-hal yang bersifat tidak rasional. Dalam konteks batu akik ini, ketidakrasionalan dalam hal nilai jual, dan proses pencarian yang kadang mengabaikan kelestarian lingkungan atau bahkan kriminal. Maka dari itu manusia kehilangan rasio nya dalam menilai atau menghargai suatu benda.
Dan kerumunan tersebut menimbulkan eforia yang berlebihan dan irasional dalam praktinya. Eforia masal kadang membentuk kegilaan. Saat eforia yang bercampur kegilaan ini meledak, maka harga produk yang dibeli – entah saham, bunga gelombang cinta atau batu akik  bisa melesat puluhan atau bahkan ratusan kali lipat. Kenapa irrational exuberance mudah terjadi? Karena manusia itu pada dasarnya amat mudah untuk latah. Mudah meniru perilaku kerumunan atau “Herd behavior”. Karena manusia pada dasarnya mudah terpenagruh oleh pihak lain. Fenomena “aneh” tentang batu akik tersebut, secara analogis akan menggelembung besar bagai balon dan akan pecah (berakhir). Secara pelan tetapi pasti eforia masal itu akan menjadi bubble  dan pecah, mengakibatkan penyesalan bagi pelakunya.
Itulah landasan teori yang berkaitan dengan ekonomi yang terjadi dalam fenomena batu akik yang terjadi di Indonesia. Di mana teori di atas secara fundamental mengambil dari ilmu psikologi dan sosial.  Dalam ilmu psikologi sendiri terdapat teori yang relevan untuk mengkaji tentang  fenomena “aneh” batu akik. Jadi fenomena batu akik itu berkaitan dengan psikologi sosial, yang memelajari tentang gejala sosial pada manusia. Menurut ilmu psikologi sosial gejala yang terjadi di masyarakat kita tentang kecintaan pada batu akik di sebut dengan “perilaku kolektif”. Perilaku kolektif adalah cara berpikir, berperasaan, dan bertindak sekumpulan individu yang secara relatif bersifat spontan dan tidak terstruktur yang berkembang dalam suatu kelompok atau suatu populasi sebagai akibat dari saling menstimulasi antar individu. 
Jadi trend batu akik yang sekarang sedang booming, termasuk dalam kategori perilaku kolektif. Di mana individu satu dengan lainnya saling menstimulasi dan yang memengaruhi  dalam suatu kerumunan. Stimulan tersebut dapat di lancarkan dengan persuasi, hiperbola, deskripsi, bujuk rayu, dan  unsur mistik. Sehingga individu mudah terpengaruh ke dalam kerumunan, dan memang dalam diri manusia terdapat herd behavior. Bahkan seringkali karakteristik perilaku kolektif yang bersifat spontan dan tidak terstruktur maka perilaku itu menjadi melanggar norma-norma sosial yang sudah mapan. Dalam artian dengan adanya trend batu akik, tidak menutup kemungkinan terjadi kejadian seperti pencurian, perampasan, penipuan, perusakan alam, dan hal lain yang merugikan. Itulah beberapa hal yang melanggar norma mungkin sudah terjadi dalam fenomena “aneh” batu akik.
Dan perilaku kolektif tersebut mengkerucut ke perilaku kerumunan yang terpusat pada satu objek atau benda, dalam konteks ini adalah batu akik. Dalam proses terbentuknya perilaku kerumunan biasanya di dahului oleh milling, yaitu proses komunikasi yang mengarah pada suatu pembentukan definisi situasi yang kemudian mengarah pada kemungkinan tindakan bersama. Dalam konteks batu akik ini adalah berupa deskripsi tentang batu akik, dari mulai asal-usul, warna, motif, keguanaan, mistik, dan keistimewaan lainnya. Dan dari paparan tersebut maka terpengaruhlah  individu, maka akan melakukan kegiatan bersama atau yang mengarah pada kerumunan. Dalam kerumunan, orang-orang cenderung mudah dipengaruhi (suggestible). Maka mereka cenderung kurang kritis terhadap situasi dan dalam keadaan siap untuk melaksanakan perilaku yang biasanya dilakukan dalam keadaan sendiri.
Jadi individu mudah sekali terpengaruh dengan stimulan dari individu lainnya, maka yang terjadi adalah keseragaman dalam penikmatan suatu objek. Tetapi apakah dalam konteks batu akik, semua individu di lingkup yang lebih luas dapat terpengaruh? Apakah hanya mereka saja yang suka atau senang dengan batu akik? Sebenarnya dalam ilmu psikologi sosial terdapat pendekatan-pendekatan untuk dapat menjelaskan dinamika kerumunan. Salah satunya adalah teori pemunculan norma, yang di cetuskan oleh Ralph H. Turner dan Lewis Killian. Menurut ke kedua tokoh tersebut, sebenarnya terdapat perbedaan motif, sikap, dan perilaku yang mendasari anggota-anggota suatu kerumunan. Teori ini mengemukakan bahwa kerumunan terdiri atas aktivitas utama, aktivitas berhati-hati, pendukung pasif, pengikut oportunistik, orang yang kebetulan lewat, orang yang ingin tahu, orang yang tidak simpati, dan para pembangkang.
Jadi dalam kerumunan “aneh” batu akik ini, tidak semua orang adalah fanatik atau pecinta batu tersebut. Individu-individu yang terlibat dalam kerumunan tersebut, memasang sikap seperti yang telah disebutkan di atas. Misalkan dalam pameran batu akik, orang-orang yang mendatangi even tersebut bisa sebagai aktivis utama, orang ingin tahu, orang kebetulan lewat dan sebagainya. Maka dari itu dalam menyikapi fenomena “aneh” batu akik ini, kita sudah tahu bagaimana posisi kita dalam kerumunan tersebut. Apakah sebagai pelaku utama, sekedar  tahu atau bahkan para pembangkang. Semua itu kembali pada individu masing-masing, akan mengikuti dan hanyut dalam eforia batu akik. Atau akan mengambil sikap lain seperti ingin tahu saja, masa bodoh, atau bahkan jadi pembangkang penghujat.

Semiotika dalam batu akik
Bahasan selanjutnya adalah mengkaji fenomena batu akik dari sudut pandang semiotika. Yang menurut Umberto Eco, semiotika adalah sebuah disiplin ilmu yang dapat menyatakan kebenaran sekaligus kebohongan. Masih menurut Eco “pada prinsipnya adalah disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau mengecoh”. Tetapi bukan berarti premis dari Eco tersebut, tidak dapat di pertanggungjawabkan. Tetapi dunia ini memang dipenuhi tanda-tanda semiotik, maka dari itu semiotika dapat masuk ke segala sesuatu. Masalah subtansi teorinya, dapat dipercaya atau tidaknya, tergantung pada pembaca melihat dari sudut mana. Premis dari Umberto Eco tersebut sebagai prolog, sebelum membahas lebih jauh tentang batu akik dari sudut pandang semiotika. Tetapi dalam bahasan kali ini yang akan di acu adalah pada teori Roland Barthes, tentang makna denotasi dan konotasi serta tanda ikonik.
Batu akik kedudukannya dalam semiotika, termasuk dalam kategori tanda, lebih tepatnya adalah tanda non verbal. Jadi secara sederhana , tanda non verbal dapat dia artikan semua tanda yang bukan kata-kata. Sebagi contoh benda-benda yang termasuk non verbal seperti baju, buah pinang, jam, pohon kelapa. Tanda-tanda tersebut nantinya berkaitan dengan makna konotatif dan juga simbolis. Dalam konteks tren batu akik ini, batu akik termasuk kategori tanda non verbal. Sedangkan menurut jenis tandanya, batu akik dapat di kategorikan benda yang bermakna kultural dan ritual.  Hal ini di karenakan dalam benda tersebut terkandung penanda dan petanda.  
Selanjutnya dalam semiotika, suatu tanda pada dasarnya menyimpan makna. Dalam hal ini adalah makna denotasi dan konotasi. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sebaliknya, makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Makna detotatif berarti makna sesungguhnya pada tanda non verbal, yaitu batu akik. Jadi tanda tersebut menunjuk ke referen sesungguhnya, bukan makna di balik tanda tersebut.
Jadi makna denotatif dari batu akik adalah pengertian yang sesuai dengan kamus dan pengertian secara umum. Batu akik jenis batu alam yang terjadi secara geologis dan berwarna, dan biasanya dapat di jadikan perhiasan atau asesoris. Penjelasan di atas adalah makna denotatif dari sebuah batu akik, dan tidak ada tedensi apa-apa pada batu tersebut. Karena masih pada tataran denotatif, maka makna belum muncul atau belum di kontruksi secara subjektif. Maka makna denotatif adalah makna  dasar dari sebuah tanda, dan biasanya kalangan umum atau awam mengetahui. Jadi dalam konteks semiotika ini, batu akik dalam tataran denotatif belum memunculkan makna kultural.
 Jika kita mengucapkan sebuah kata yang mendenotasikan suatu hal tertentu  maka itu berarti kata tersebut mau menunjukan, mengemukakan, dan menunjuk pada hal itu sendiri. Dalam tataran denotatif, batu akik di pahami sebagai batu yang memilki warna, keras, menarik, berbeda dengan batu biasa karena kandungan mineralnya. Sehingga pemaknaannya hanya sebatas pada pada tanda non verbal yang menempel. Tanda yang khas dari batu akik tersebut adalah warna, corak, tekstur, bentuk, tingkat kekerasan. Itulah tanda denotatif yang membangun tanda pada batu akik, sehingga batu tersebut adalah sebuah batu tidak bermakna apa-apa. Dalam pemakaian atau penggunaan batu akik tersebut, tanpa ada kontruksi makna atau embel-embel tertentu. Pemakaian dan penikmatannya berdasarkan unsur non verbal, yang menimbulkan efek artistik dan estetik.
Di atas sudah dijelaskan tentang makna denotatif, Lantas bagaimana dengan tanda konotatif dalam konteks batu akik yang sedang tren. Makna konotatif sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh dua lingkungan tekstual dan lingkungan budaya. Pada konteks batu akik yang relevan adalah makna konotatif yang berkaitan dengan budaya. Supaya jelas kedudukan batu akik dalam konteks  konotatif budaya, maka akan di ambil salah satu contoh yaitu bunga teratai. Kata teratai bagi umumnya bangsa Indonesia hanya akan mengungkapkan makna konotatif yang berhubungan dengan keindahan belaka. Akan tetapi, di India bunga itu akan memiliki makna konotatif lain, karena baik dalam agama Hindu maupun Budha, bunga teratai memilki arti perlambang (simbol) yang dalam, yang berhubungan dengan kedua agama tersebut.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa makna konotatif, sudah mendapat penambahan dan nilai tertentu yang berkaitan dengan budaya suatu teritorial . Jadi dalam kaitan ini batu akik yang sedang trend, dalam pemakaiannya terdapat makna. Memakai atau mengenakan batu akik tidak hanya memakai sebuah batu, tetapi juga memakai makna pada batu tersebut. Jadi ketika mengenakan batu tersebut, kita juga secara simbolis menunjukan makna tertentu. Makna konotatif yang menempel pada batu akik, yang sudah biasa di masyarakat adalah batu bertuah, perdukunan, orang tua, kesaktian, tolak bala dll.
Makna konotatif tersebut sudah terkontruksi dalam budaya di Indonesia. Sehingga ketika memakai batu tersebut, identik dengan hal-hal tersebut di atas. Itulah makna konotatif yang sudah lekat dengan batu akik di teritorial Indonesia. Tetapi dengan adanya trend batu akik sekarang ini ada pergeseran makna dari batu tersebut. Makna yang muncul dari batu tersebut telah mendapat penambahan dan nilai. Dalam konteks trend batu akik, makna lama yang berbau tua dan klenik telah terkikis. Yang di munculkan adalah makna baru, sperti batu yang keren, batu gaul, batu kekinian, anak muda, batu cantik, modern dll. Makna konotatif yang di munculkan dengan fenomena “aneh” batu akik tersebut, supaya dapat menjaring pasar yang lebih luas. Jadi penikmat batu akik tidak hanya dari kalangan tua, tetapi juga sudah merambah ke segala usia dan gender.
Maka dari itu makna dalam sebuah batu akik tersebut, terjadi pergeseran makna yang bertujuan untuk menjaring pasar. Disamping dalam pemaknaan denotatif, batu akik sendiri dalam bentuk dan warnanya memang menarik. Mengenai bentuk, warna, dan motif dalam batu akik tersebut juga berkaitan dengan semiotika. Yaitu tentang motif yang di munculkan akibat di olah sedemikian rupa. Sehingga muncullah motif-motif yang ikonik, yang merujuk ke tanda-tanda yang sudah ada. Ikon sendiri adalah tanda dimana penanda memiliki koneksi langsung (non arbiter) dan simulatif dengan penanda atau sumber acuannya.
Jadi ikonisitas pada motif batu akik, tidak bersifat sewenang-wenang, tetapi mengacu pada penanda yang ada. Selain itu proses ikonisitas melibatkan persepsi manusia dalam mengartikan sebuah pola atau penanda. Ikonisitas membuktikan bahwa persepsi manusia sangatlah tinggi terhadap pola-pola berulang dalam bentuk warna, bentuk, dimensi, gerakan, bunyi, rasa dan seterusnya. Pola gambar yang di munculkan pada batu akik,mengacu ke tanda yang sudah ada. Ikonisitas pada batu akik seperti Nyi Roro Kidul, Monas, naga, naga menyembur api, buaya, wajah wanita, wajah misterius, orang berjenggot dll. Kesemuanya itu adalah bentuk ikon yang muncul dari batu akik, akibat dari proses pembentukan secara teliti.
Dalam konteks tanda yang ikonik, gambar pada batu akik tersebut tidak mengandung makna yang berlebihan. Berlebihan di sini adalah mengandung unsur klenik, mistik, mitos, legenda, pemujaan atau lainnya. Jadi bentuk ikonik tersebut hanya pola gambar, yang telah dipersepsi oleh manusia itu sendiri.  Proses penafsiran atau pemaknaannya hanya pada sebatas tataran estetik dan denotatif, tidak ada tedensi apa-apa pada motif batu tersebut. Hanya saja dalam budaya masyarakat kita, sering di kaitkan dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Dan membingkai ikonisitas tersebut dengan sugesti-sugesti, yang memang kadang belum dapat dipastikan. Semua itu kembali pada individu masing-masing, untuk memaknai bentuk ikonik tersebut.
Jadi motif atau corak yang muncul pada batu tersebut, hanyalah bentuk ikonik yang sengaja dimunculkan. Jadi jangan sampai ikonisitas tersebut menjadi bentuk pembelokan makna. Menikmati batu akik yang ikonik, hendaknya tidak lebay atau berlebihan. Pola atau motif yang muncul akibat pengolahan dari batu tersebut, hendaknya di sikapi secara wajar. Pola dalam batu tersebut tidak ada tedensi apa-apa, yang ada hanya ke unikan dari sebuah batu. Bentuk yang ikonik tidak akan memberikan efek-efek klenik yang tidak masuk akal. Walaupun pada akhirnya kembali pada individu masing-masing dalam proses pemaknaannya. Fenomena “aneh” batu akik ini, tergantung kita memandang dari sudut mana. Jadi dalam praktiknya pemakaian atau penggunaan batu tersebut hendakya jangan lebay. Fenomea “aneh” ini tidak akan aneh, ketika kita menilai berdasarkan rasio dan logika. []
Referensi :
Ø  www.Wikipedia.com
Ø  www. romahadi.wordpress.com
                 http://www.kumpulanmisteri.com
                  http://strategimanajemen.net
Ø  Psikologi Sosial, suatu pengantar, Dr. Fattah Hanurawan, 2010
Ø  Pesan, Tanda, dan Makna, Marcel Danesi, 2011
Ø  Pengantar Semiotika, Arthur Asa Berger, 2010
Ø  Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yasraf Amir Piliang, 2003
Ø  Semiotika Komunikasi, Drs. Alex Sobur, M.Si. , 2009


Jejak Hindu di Bumiayu

Menelusuri Jejak Hindu di Bumiayu Bumiayu merupakan kota kecamatan yang terletak di selatan Kabupaten Brebes. Bumiayu dalam perkemba...