Menelusuri
Jejak Hindu di Bumiayu
Bumiayu merupakan kota kecamatan yang
terletak di selatan Kabupaten Brebes. Bumiayu dalam perkembangannya tidak lepas
dari sejarah kota itu sendiri. Walaupun kota bumiayu dalam kondisi sekarang
jauh dari nilai-nilai sejarah. Hal ini bisa dilihat dari progress pembangunan
kotanya. Yang terlihat adalah pertokoan, sepanjang jalan utama tidak dijumpai
bangunan yang bernilai sejarah. Sekilas memang tidak terdapat bangunan atau
situs di sekitar kota Bumiayu. Tetapi jika kita telusur lebih jauh, Bumiayu ternyata menyimpan beberapa
peninggalan Hindu. Peninggalan peradaban lama tersebut sekarang dalam kondisi
yang tidak utuh, karena termakan usia, kurangnya penanganan dari pihak terkait
dan tindakan vandalis dari beberapa orang yang tidak paham sejarah.
Memang tidak banyak situs ataupun
bangunan suci peninggalan Hindu, yang terdapat di Bumiayu. Hanya ada dua situs
diwilayah Bumiayu atau Brebes Selatan. Yaitu Situs Watu Jaran di Laren, Bumiayu
dan Candi Pangkuan di Cilibur, Paguyangan dan yang baru-baru ini d temukan
situs Gagang Golok di Galuh Timur. Sebelum membahas lebih dalam tentang ketiga
situs atau candi tersebut. Ada baiknya kita memahami konsep dari pembuatan
candi dalam agama Hindu. Secara umum candi merupakan bangunan dari bebatuan
yang berfungsi sebagai bangunan keagamaan. Dan di Indonesia bangunan candi
berfungsi sebagai tempat pemujaan kepada dewa. Tetapi ada beberap candi yang
berfungsi sebagai pengajaran agama, penyimpanan abu jenazah para raja, dan
pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Sekilas
tentang Hindu
Sebelum Islam datang ke Nusantara,
kedua agama yaitu Hindu dan Budha sudah lebih dahulu masuk. Secara umum
keberadaan candi yang ada di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh agama Hindu
yang berkembang pada abad ke 4 –ke-14. Sebagai mana kita tahu, agama Hindu
sendiri berasal dari India. Hal ini di tandai dengan berdirinya kerajaraan
Kutai dan Tarumanegara yang bercorak Hindu. Kehadiran Agama Hindu ke Indonesia
menandai berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia. Ciri-ciri peralihan zaman
pra sejarah adalah dengan di kenalnya tulisan. Hal ini di buktikan dari
beberapa prasasti yang ditemukan yang berasal dari Kerajaan Tarumanegara yang
menggunakan tulisan Pallawa, tulisan asli India. Ini membuktikan bahwa, agama Hindu
masuk ke Indonesia dan mengakhiri masa prasejarah di Indonesia, memasuki masa
sejarah.
Dapat dibayangkan nenek monyang kita
pada masa pra sejarah seperti apa, tidak tahu menahu tentang agama atau
tulisan. Dapat dikatakan kehidupan pada masa pra- sejarah memang belum mengenal
agama. Berarti semua agama yang ada di Nusantara adalah impor atau pendatang.
Agama Hindu dan Budha dengan ajaran nya telah meninggalkan sebuah peradaban
besar di tanah Jawa. Ditandai dengan berdiri nya kerajaan-kerajaan besar seperti
Mataram Kuno, Majapahit, Padjajaran, Sriwijaya, Singosari dan lain nya. Agama
Hindu tumbuh dan berkembang di tanah Jawa di tandai dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Hindu.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia di perkiraan pada abad ke 4, hal
ini di tandai dengan berdirinya kerajaan Kutai Kertanegara dan Tarumanegara. Di
indikasikan kedua kerjaan tersebut bercorak Hindu. Ada beberapa teori yang
menjelaskan tentang penyebaran agama Hindu di Nusantara.
Yang
pertama adalah teori Brahmana, teori
ini di cetuskan oleh Van Leur. Van Leur berpendapat bahwa Agama Hindu di bawa
dan sebarkan ke Indonesia oleh para Brahmana atau Pendeta. Dalam konteks ini,
karena para Brahmana mengetahui tentang kitab Wedha, kitab suci agama Hindu.
Selain itu, para Brahmana bertanggung jawab penuh dengan penyebaran agama
Hindu. Yang kedua adalah teori Kesatria,
teori ini di kemukakan oleh Majundar, Moekrji, dan Nehru. Mereka berpendapat,
bahwa para Kesatrialah yang memnyebarkan agama Hindu di Indonesia. Para
kesatria mencoba menaklukan kerajaan kerajaan di Indonesia pada waktu itu.
Tetapi kalau di lihat dari eksistensi kerajaan yang berdiri di Indonesia, pada
waktu itu tidak ada satupun kerajaan di bawah langsung kerajaan India.
Berikutnya adalah teori
Waisa, teori ini di kemukakan oleh Krom. Menurut Krom, agama Hindu di
sebarkan di Indonesia oleh para pedagang. Hal ini di buktikan dengan aktivitas
perdangan antara bangsa India dan orang Nusantara pada waktu itu. Teori ini
dapat dikatakan cukup kuat, karena secara historis nenek monyang bangsa kita
adalah seorang pelaut ulung dan juga pedagang. Teori selanjutnya adalah teori
sudra, dalam konteks ini Agama Hindu di bawa ke Indonesia oleh golongan kasta
Sudra. Menurut teori ini, para budak ingin memperbaiki nasib hidupnya dengan
cara bermigrasi ke Nusantara, sekaligus menyebarkan agama Hindu. Teori ini
tidak terlalu kuat, hal ini dapat di lihat bahwa kaum Sudra tidak memiliki
kapasitas dalam menyebarkan agama Hindu. Teori berikutnya adalah teori Arus Balik, bahwa bangsa di Nusantara
belajar langsung ke pusat agama Hindu di India. Setelah itu mereka lalu mengajarkan
kembali agama Hindu di Nusantara. Tetapi menurut catatan sejarah, bahwa orang
oarng di Nusantara belajar Agama Hindu setelah berdiri beberapa kerajaan yang
menganut agama Hindu, salah satunya adalah Sriwijaya di Sumatra. Dalam catatan
sejarah mengirim beberapa orang untuk belajar langsung agama Hindu di India.
Candi Pangkuan di Cilibur |
Bumiayu dan jejak Hindu
Lalu apa kolerasinya dengan Bumiayu, yang notabene tidak ada
peninggalan kerajaan yang signifikan. Bumiayu jika dilihat dari peta kerajaan
jaman dulu, Bumiayu termasuk dalam kerajaan Galuh. Tetapi dari beberapa situs
yang di temukan di Bumiayu, memang belum dapat disimpulkan peninggalan atau
termasuk wilayah kerajaan mana. Jika mengacu ke catatan sejarah, dan peta
sejarah pada masa lalu, Bumiayu termasuk dalam kerajaan Galuh. Dari penulusuran
penulis, ditemui situs peninggalan hindu. Di antara peninggalan Hindu itu
antara lain, Candi Pangkuan di Karang Gandul, Cilibur Paguyangan, Situs Watu
Jaran di Karang Dawa, Laren Bumiayu dan yang terakhir situs Gagang Golok yang
baru- baru ini di temukan di dukuh Kalipucang, Galuh Timur Tonjong. Tetapi
sampai sejauh ini dari penelitian, kunjungan, atau ekskavasi dari Balai Arkeologi,
belum dapat di menyimpulkan dari kerajaan mana
dan tahun berapa.
Situs yang pertama adalah situs
Pangkuan yang berlokasi di Karang Gandul, Cilibur Paguyangan. Candi Pangkuan itulah warga setempat menyebutnya,
tapi orang terdahulu menyebutnya dengan Alas Tua (hutan yang sudah sangat tua) dan terletak
di dataran tinggi (700m dpl). Letak Candi ataupun situs terletak tidak jauh
dari jalan utama Cilibur, untuk dapat sampai ke Candi pangkuan harus menempuh
jarak sekitar 10 km dari pusat kota Bumiayu. Sedangkan untuk akses kesana dapat
di tempuh menggunakan angkutan desa, ojek ataupun mobil pribadi. Dengan kondisi
jalan yang naik dan berkelok-kelok, perjalanan untuk sampai ke candi dapat
ditempuh sekitar dua puluh menit. Candi ataupun situs pangkuan , jangan di
bayangkan sama dengan candi-candi lainnya di Jawa. Candi Pangkuan hanya
gundukan tanah atau bukit yang ditumbuhi rerimbunan pohon tua dan semak-semak. Namun
ketika sudah masuk area tersebut akan di temui yaitu Lingga yang cukup besar
dengan tinggi kurang lebih satu meter. Dan beberapa rumpun batu yang tidak
utuh, yang di perkirakan sebuah arca atau bentuk lain. Dalam Hindu, lingga dan
Yoni adalah perlambang alat kelamin laki - laki dan perempuan. Dalam kamus Jawa
menjelaskan bahwa “Lingga” tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti keterangan,
petunjuk; Lingga, lambang kemaluan lelaki (terutama Lingga Siwa dibentuk tiang
batu), patung dewa, titik tugu pemujaan, titik pusat, pusat poros, sumbu”. Dengan
adanya lingga dan yoni ini menandakan bahwa tempat tersebut dahulu adalah
daerah yang subur. Lingga dan Yoni sendiri paling sering ditemukan di dekat
candi. Lingga sendiri berbentuk batu yang tegak seperti kemaluan laki - laki.
Lingga berasal dari kata sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, bukti
dan keterangan
Tim Balai Arkeologi Yogyakarta sedang mengukur lingga di Candi Pangkuan |
Selain terdapat Lingga di sisi sebelah selatan
situs, terdapat beberapa makam yang berurukan panjang. Tidak diketahui makam
siapa saja di situ, tapi bisa jadi makam tua tersebut merupakan leluhur dari
desa di sekitar. Walaupun letaknya di ujung desa dan pinggir jalan, Candi
Pangkuan masih terdapat satwa liar nya yaitu monyet dan juga babi hutan. Sampai
dengan sekarang, belum dapat disimpulkan Candi pangkuan tersebut dulu nya
apakah candi, tempat pemujaan atau bangunan jenis lain. Hal ini di karenakan
belum di lakukan nya penelitian ataupun ekskavasi dari badan arkeologi. Karena
untuk membuktikan berapa usia candi atau bangunan kuno, harus di lakukan secara
ilmiah tidak hanya menduga-duga. Sejauh pengalaman penulis menemani tim
Arkeolog dari Yogyakarta, yang langsung mengunjungi situs Pangkuan dan Watu Jaran.
Memang, belum dapat di simpulkan karena harus menggali lapisan tanah, sehingga
nanti dapat terdeteksi usia atau umur dari situs tersebut.
Situs berikutnya adalah, situs Watu Jaran di Karang
Dawa, Laren Bumiayu. Situs watu jaran, letaknya tidak jauh dari kota Bumiayu.
Dapat di tempuh dengan kendaraan umum kurang lebih 10 menit dari kota Bumiayu.
Situs Watu Jaran, terletak di jalan desa Karang Dawa – Pruwatan. Letaknya di
ujung desa dekat dengan areal persawahan dan di pinggir jalan utama desa. Situs
ini juga di indikasikan merupakan peninggalan masa Hindu. Dalam konteks ini,
dapat di lihat dari fragmen atau benda yang di temukan di situs tersebut. Di
situs Watu Jaran terdapat empat arca Yoni, umpak, dan Patung Lembu Andini. Sealian itu juga terdapat
batu bata sebagai bagian dari struktur candi. Batu bata merah yang ada di situ
ukuran nya berbeda dengan batu bata masa sekarang. Batu bata yang ada di area
tersebut empat kali lebih besar dari bata sekarang. Dengan adanya artefak yang
menandakan agama Hindu. Kemungkinan situs tersebut merupakan tempat pemujaan
terhadap Dewa Shiwa, yang termasuk dalam ajaran trimurti dalam agama Hindu.
Arca Lembu Nandi yang berada di situs Watu Jaran Laren |
Terkait dengan adanya arca yoni di situs Watu Jaran,
dalam konteks ini yoni merupakan arca berbentuk bujur sangkar dan juga biasanya
terdapat tonjolan di salah satu sisinya. Di tengah Yoni biasanya terdapat
lubang untuk menanamkan Lingga. Permukaan Yoni sendiri tidak rata namun di
bagian tepi lebih tinggi yang berfungsi agar air tidak keluar apabila di siram
dari lingga dan hanya akan keluar melalui cerat. Biasa nya keberadaan yoni
berpasangan dengan lingga, tetapi kondisi di Watu Jaran hanya terdapat yoni
saja. Selain yoni juga ada Umpak, umumnya kegunaan dari umpak ini sendiri dalam
sebuah arsitektur bangunan adalah berfungsi untuk meninggikan bangunan serta
memberikan ruang jeda antara tanah dengan kayu sebagai tiang penyangga. Hal ini
dilakukan agar tiang menjadi lebih awet dan tidak dimakan rayap. Umpak dapat
berasal dari susunan batu yang disemen atau bahkan sekedar tatanan batu bata.
Akan tetapi yang paling sering dan umum digunakan adalah umpak berbahan dasar
Batu Alam dalam hal ini Batu Alam Gunung Merapi atau Batu Candi. Sering pula
lebih dikenal dengan sebutan batu umpak dibanding umpak batu.
Yang lebih penting lagi adalah arca Lembu Andini
atau Nandini, dalah seekor lembu betina. Nama "Andini" yang
dipakai di suku Jawa mempunyai arti yaitu "penurut". Figur
lembu Nandini banyak dijadikan
arca pada percandian Hindu di Jawa, terutama dari periode
Medang Mataram, khususnya pada percandian yang memuja Dewa Syiwa.
Dalam cerita pewayangan Nandini adalah seekor lembu betina. Lembu ini dipakai
sebagai wahana (kendaraan) Batara Siwa. Lembu Nandini dikenal
mempunyai sifat tak kenal takut. Nah, di situs Watu Jaran ini, arca yang
sebenarnya adalah patung lembu Andini, tetapi karena masyarakat setempat sudah
salah menafsirkan bentuk arca tersebut. Maka Arca Lembu tersebut di kenal
masyarakat sekitar sebagai arca kuda ( jaran), maka situs tersebut di namakan
Watu Jaran. Kondisi arca Lembu Andini di Situs ini, kondisi kepalanya sudah
terpotong, sehingga wujudnya sudah tidak utuh. Dapat di indikasikan arca
tersebut di rusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab, entah faktor apa
yang melatar belakangi perusakan arca tersebut.
Arca Drawapala dalam kondisi yang sudah hancur, disatukan kembali di iket tali |
Situs berikutnya yang masih bercorak Hindu adalah,
situs Gagang Golok yang berlokasi di Kalipucang Galuh Timur, Tonjong. Situs ini
belum lama di temukan dan di ekskavasi Balar ( Badan Arkeologi) dari Jogjakarta
baru-baru ini (Juli 2019). Situs ini terletak di hutan jati milik perhutani dan
berdekatan dengan rel kereta api. Sebenarnya keberadaan situs candi tersebut
sudah lama diketahui pihak perhutani, dalam hal ini di tandai pembuatan patok
sebagai tanda. Di komplek tersebut terdapat patok atau tanda dengan kode CB (
cagar Budaya), dan terdapat beberapa batu. Tetapi masyarakat sekitar tidak
mengetahui, bahwa batu tersebut
merupakan bagian candi. Sekretaris Desa Galuhtimur Muhajir mengatakan penemuan
reruntuhan bangunan bermula ketika munculnya sebuah arca atau patung yang
tertimbun. Tingginya hampir sekitar 70 centimeter. "Awalnya kelihatan
sebuah arca. Tertutup bebatuan dan tanah, sehingga segera digali oleh warga
sekitar," katanya, Senin (22/7/19).
Berdasarkan kunjungan penulis ke situs candi
tersebut, memang terdapat sebuah arca yaitu arca Drawapala. Drawapala adalah
arca penjaga candi atau tempat pemujaan, dan biasanya terletak di depan pintu
candi. Sedangkan di sebelahnya terdapat reruntuhan bangunan yang terbuat dari batu bata, dan ada
beberapa umpak yang mengelilingi bangunan tersebut. Reruntuhan yang ditemukan
mirip dengan sumur yang terdapat air di tengahnya. Kedalamannya mencapai tujuh
meter. Sedangkan bentuknya persegi dengan dikelilingi tumpukan batu bata yang berukuran 8x8 meter. Menurut Harun
Alrosyid salah satu Staf BPCB saat berkunjung.Perkiraan awal reruntuhan
bangunan yang ditemukan, merupakan bagian belakang candi. Artinya belum
merupakan bagian utama dari candi. Sehingga diperkirakan bangunan utamanya
masih ada di sekitar yang diperkirakan masih tertimbun. Dan sekilas memang
reruntuhan tersebut memang mirip sebuah pentirtaan atau pemandian. Disamping
terdapat umpak yang mengelilingi reruntuhan tersebut. Ketika terdapat umpak di
sekitar, di pastikan terdapat penutup atau atap pada waktu itu.
Patung yang menyerupai hewan mitologi Hindu, entah itu Naga atau binatang lainnya. |
Selain arca Drawapala yang di temukan, di situ juga
terdapat potongan arca yang menyerupai kepala hewan , seperti ular atau naga.
Dapat dilihat dari potongan arca tersebut terdapat mata dan taring, walaupun
tidak utuh tetapi terlihat jelas itu bagian dari kepala. Jika menilik ke mitologi Hindu, memang terdapat beberapa
hewan mitologi. Dalam Hindu terdapat beberapa mahluk mitologi, seperti naga
antaboga, jatayu, makara dan lainnya. Kondisi komplek candi tersebut sementara
di batasi dengan pagar bambu dan garis polisi. Dengan tujuan untuk menghindari
tindakan perusakan atau pencurian cagar budaya. Dan menurut informasi dari
warga yang berjaga di situ, penggalian di hentikan sementara di karenakan
perijinan dari pihak perhutani. Disamping itu dari pengamatan penulis, terdapat
beberapa kerusakan barang bukti sejarah. Dimana tidak utuhnya lagi beberapa
batu bata akibat penggalian yang tidak sesuai prosedur. Batu bata tersebut ada
yang terpotong dan pecah, akibat terkena alat seperti cangkul, linggis dan
benda tajam lainnya. Sangat di sayangkan, tidak utuhnya benda bukti sejarah
tersebut. Padahal benda itu mendukung untuk keutuhan sebuah banguan kuno.
Secara keseluruhan struktur candi tersebut merupakan
peninggalan Hindu Klasik. Dari berita yang beredar melalui berbagai media,
bahwa situs tersebut di perkirakan peninggalan abad ke 5. Jika menelisik ke sejarah nusantara, kerajaan yang
berkembang di waktu itu adalah kerajaan Taruma Negara dan Galuh Purba. Lebih
tua dari kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Memang untuk memastikan seberapa tua
situs tersebut harus melalui penelitian ilmiah, sehingga dapat di ketahui usia
dari situs tersebut. Dapat di banyangkan dahulu di daerah situ merupakan sebuah
peradaban yang besar. Dalam konteks ini kemungkinan masih terdapat candi utama
di kompleks tersebut. Kita berharap kedepannya dapat di lakukan ekskavasi,
sehingga candi utama dapat terkuak. Untuk menguak misteri tersebut di butuhkan
dukungan penuh dari pemda dan masyarakat sekitar untuk melakukan penggalian. Sehingga
kedepannya Brebes mempunyai tempat bersejarah dan dapat di jadikan destinasi
wisata sejarah.
terimakasih atas apresiasinya
ReplyDelete