Sejarah dan Perkembangan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia)
Sejarah
dan Perkembangan Persagi
(persatuan
ahli gambar indonesia)
Sejarah perjalanan seni rupa di
Indonesia mempunyai rentang waktu yang cukup panjang. Tidak hanya sebatas pada
waktu Indonesia sudah merdeka, tetapi jika di runut terdapat fase dalam pemetaan
seni rupa di Indonesia. Tentunya ketika membicarakan sejarah panjang seni lukis
Indonesia Modern, tidak dapat dilepaskan periode-periode sebelumnya. Yaitu
periode Raden Saleh dan Moi Indie, jadi diharapkan akan terjadi
kejelasan kausalitas dari tiap periodenya. Pembahasan tulisan ini seputar seni
rupa modern di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. Di mana kita tahu seni rupa modern Indonesia
mempunyai cikalnya pada masa penajajahan Belanda. Pengaruh pemikiran dan
artistik Barat sungguh besar dalam mengubah kondisi masyarakat In Lander.
Walaupun ada yang beranggapan orang In Lander dikekang kebebasan dalam
mengakses pendidikan, dan pendidikan hanya dinikmati oleh kalangan Ningrat atau
Bangsawan.
Selanjutnya sebagai pokok bahasan
tulisan ini adalah periode di mana
terdapat gejolak dalam pemikiran dan artistik pada masa Pergerakan Indonesia.
Yaitu ditandai dengan munculnya organisasi pelajar dan lahirnya tokoh-tokoh
Pergerakan yang akan mengubah nasib Hindia Belanda menjadi Indonesia. Pada masa
itu pula lahir sekelompok seniman yang tergabung dalam Persatuan Ahli Gambar
Indonesia (Persagi). Sebelum kelahiran Persagi tentunya disebabkan oleh periode
sebelumya, yaitu periode Mooi Indie atau mazhab Hindia Molek yang memuja
keindahan alam Nusantara dan gadis pribumi.
Salah satu lukisan Mooi Indie Karya dari Wakidi, pelukis pribumi yang lukisannya tentang pemandangan. |
Periode Mooi Indie yang memesona.
Kekayaan dan keindahan Nusantara tidak
hanya menggoda Kolonial Belanda untuk menjajah Hindia Belanda yang subur dan
hijau serta kaya akan hasil bumi. Selain menjajah Hindia Belanda(Indonesia
sebelum merdeka) koloni Belanda juga terpesona dengan keindahan alamnya.
Sehingga selain mengeruk kekayaan alam Hindia Belanda dan menjajah rakyat
pribumi. Belanda dengan para pekerja seninya juga mendokumentasikan keindahan
alamnya. Dengan mendokumentasikan alam, flora, fauna serta kehidupan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, juga didokumentasikan melalui lukisan untuk apreasiasi
seni.
Gaya lukisan mooi Indie atau
Hindia Molek muncul di Batavia pada awal abad 20. Di mana pada waktu terdapat berbagai status
sosial yang beragam di Batavia, salah satunya adalah kalangan masyarakat
menengah Belanda yang tinggal di lingkungan pribumi. Kalangan menengah Belanda
tersebut membawa pola baru dalam kehidupan, salah satunya adalah dengan
megoleksi benda-benda seni termasuk lukisan. Memasuki tahun 1920-an pertumbuhan
tempat tinggal orang Belanda di Batavia adalah di kawasan Weltervreden Selatan
dan Tenggara. Di samping itu, sepanjang kawasan tepi kota yaitu Gondangdia Baru
dan Menteng berderet-deret bangunan orang Belanda dengan halaman depan dan di
belakang yang rapi dan teratur. Kelompok masyarakat menengah Belanda itulah
yang menjadi patron seni lukis yang mulai berkembang. Kondisi megoleksi lukisan
tersebut mulai tumbuh pada akhir abad ke-19.
Sebagai penanda sekaligus penguat akan
hadirnya budaya yang mengandung nilai estetika tersebut datang dari pemerintah
kolonial sendiri. Pemerintah kolonial mendirikan lembaga kebudayaan Nederlandsch
Indische Kunstkring pada 1 April 1902. Kemudian dalam perkembangannya
lembaga kebudayaan ini dikenal di Batavia dengan sebutan Bataviaasche
Kunstkring. Lembaga kebudayaan tersebut menjadi penampung aspirasi kalangan
elite Belanda dan intelektual pada kelas menengah Belanda. Lembaga kesenian
tersebut menaungi berbagai seni, antara lain seni lukis, musik, tari, drama,
maupun pidato kebudayaan dan membaca. Dengan adanya lembaga kebudayaan tersebut,
maka dunia seni pada zaman itu menjadi semarak dan bergairah. Pameran dan
pertunjukan sering diadakan di gedung tersebut. kegiatan yang dibuat dengan
makna sejarah besar adalah pameran seni lukis pada tahun 1903 yang menampilkan
karya duplikat dari Rembrant van Rijn di Batavia.
Dengan berdirinya lembaga kesenian
sebagai patronase seni lukis dan tersedianya prasarana-prasarana yang lain
semakin membuka kesempatan ruang yang kondusif untuk mempertemukan minat
masyarakat dan visi pelukis. Maka dari itu banyak pelukis profesional Eropa
yang berdatangan ke Hindia Belanda, untuk dapat mengeksplor alamnya yang indah.
Walaupun sebelumnya ada pelukis yang bekerja di bawah instruksi pemerintah
Belanda. Mereka adalah pelukis yang ditugasi oleh V.O.C atau pemerintah Hindia
Belanda untuk membuat pendokumentasian sebagai laporan dinas dan kepentingan
ilmiah. Mereka itu boleh dikatakan pekerja di bidang artsitik yang
mendokumentasikan melalui sketsa atau lukisan. Pelukis yang ditugaskan antara
lain C.G.C. Reinwardt, A.J.Bik, Th.Bik dan A.A.J. Payen. Pelukis yang terakhir
disebut dikenal sebagai guru dari pelukis pribumi bangsawan Raden Saleh.
Lukisan dari Walter Spies "Die Landschaft un ihre Kinder" 1941, yang melukiskan pemandangan alam di Bali. |
Selain itu pula muncul pelukis-pelukis
profesional yang bekerja untuk melukis, tidak diperintah oleh pemerintah
kolonial. Mereka datang dari daratan Eropa tepatnya negeri Belanda, pelukis
tersebut datang untuk dapat mendokumentasikan keindahan alam Hindia. Tercatat
nama-nama pelukis terkenal di Hindia Belanda seperti, P.A.J. Moojen, W.O.J.
Nieuwenkamp yang datang pada tahun 1904. Selanjuthya menyusul pelukis lain
seperti, Du Chattel, Carel Dake, Dolf Breetvelt, Isaac Israel, Marius Bauer,
dan Romualdo Locatelli. Kedatangan pelukis tersebut membawa faham baru dalam
aliran seni, yaitu aliran impresionisme dan ekspresionisme. Di mana pada waktu itu di Eropa memang sedang
berkembang aliran jenis baru tersebut, sehingga para pelukis tersebut membawa
faham baru yang lebih segar bagi wacana seni di Hindia Belanda. Mereka melukis
alam dan kehidupan di negeri yang eksotis dan kaya akan cahaya. Sehingga mereka
rela datang dari jauh untuk dapat menangkap momen estetis tersebut. Di mana
pemandangan alam dengan hamparan sawah, sungai, tumbuhan tropis, dan adat
penduduk pribumi, selalu menggoda untuk dapat digoreskan di atas kanvas.
Kedatangan para pelukis dari Eropa
tersebut membuat semarak dunia kesenian di Batavia pada waktu itu. Para pelukis
tersebut pada umumnya tergoda oleh eksotisme dunia timur. Mereka mendatangi
tempat-tempat seperti lembah, gunung, desa, sungai, hamparan sawah, melukis
kegiatan adat dan gadis desa yang cantik. Mereka berkelana ke berbagai daerah
di Jawa, Sumatra hingga ke Bali. Keindahan alam Hindia memaksa mereka untuk
dapat berlama-lama tinggal di Hindia, untuk dapat mendokumentasikan moment
estetis alam dan kebudayaan. Para pelukis yang menetap lama di Hindia antara
lain Willem Dooyewaard, Rolland Strasser, Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan
Willem Hofker. Para pelukis di atas tergoda dengan eksotisme alam Hindia,
khususnya pulau Bali yang memiliki keindahan alam bagai surga.
Pada intinya para pelukis Eropa
tersebut datang ke Hindia untuk melukis keindahan alamnya yang eksotis. Dan
dari lukisan yang dihasilkan para pelukis Eropa tersebut melahirkan istilah Mooi
Indie. Sebutan istilah tersebut tentunya tidak terdapat dalam terminologi
sejarah seni lukis mainstream Barat. Karena istilah Mooi Indie sendiri
menjadi populer di Hindia Belanda (Indonesia) semenjak S.Sudjojono memakainya
untuk mengejek pelukis-pelukis pemandangan dalam tulisannya pada tahun 1939.
Namun sebelumnya istilah Mooi Indie pernah dipakai untuk memberi judul
reproduksi lukisan pemandangan Hindia Belanda karya cata air Du Chattel yang
diterbitkan dalam bentuk portofolio di Amsterdam tahun 1930.
Periode Mooi Indie telah begitu
besar menyumbang dalam lanskap seni rupa modern di Indonesia awal. Tetapi
setelah cukup lama menjadi barometer seni lukis modern Hindia Belanda, akhirnya
Mooi Idie mendapat reaksi keras dari kaum Bumiputera. Dan seiring dengan
gejolak ekonomi serta politik yang tidak kondusif menjelang tahun 1930-an. Di mana pada tahun-tahun tersebut lahir pemikiran
kritis dari kaum Bumiputera, mereka merindukan akan kebebasan yang setelah
sekian lama terpasung oleh kolonial. Gerakan-gerakan mulai muncul dalam bidang
pendidikan, politik, kebangsaan, nasionalisme dan kebudayaan. lahir pula
kelompok-kelompok pergerakan yang nantinya akan membawa ke gerbang kemerdekaan
bangsa Indonesia. Di lain pihak lahir pula pergerakan budaya yang
memperjuangkan nilai-nilai nasionalisme, salah satunya adalah Persagi
(Persatuan Ahli Gambar Indonesia.
Foto Anggota Persagi dalam rapat tahunan 1940 di Jakarta. |
Lahirnya Persagi (Persatuan Ahli Gambar
Indonesia).
Lahirnya Persagi tentunya bukan tanpa
sebab atau kasualitas, Persagi lahir sebagai bentuk protes atas nilai estetika
oleh yang di usung oleh Mooi Indie. Tentu saja tidak disebabkan oleh satu
persoalan tersebut di atas, tetapi banyak faktor yang melatarbelakangi lahirnya
pergerakan budaya tersebut. kondisi ekonomi dan politik pada masa tersebut
memang menuntut pembaruan dalam segala bidang, tak terkecuali dalam bidang seni
dan budaya. Di mana pada waktu kondisi
ekonomi di Batavia memang sedang kacau. Memasuki tahun 1930-an, keadaan Batavia telah berbeda dengan awal abad 20. Keadaan semacam
itu membuat keadaan masyarakat pribumi semakin sulit dalam kehidupan, dan
memang keadaan pada zaman tersebut belum dapat dikatakan nyaman. Kondisi sosial
masyarakat bawah yang kehidupannya berat, ternyata menggugah kesadaran dan visi
baru kelompok Persagi untuk mengungkapkan realitas yang ada. Tokoh
utama dalam pergerakan budaya tersebut adalah Sudjojono yang menorehkan
pemikirannya dalam tulisan yang banyak di muat di majalah atau surat kabar pada
waktu itu.
Memang pada waktu itu kondisi Hindia
Belanda sedang dalam progres untuk menuju pencerahan yang dikomandoi oleh kaum
Pribumi terpelajar. Pada dasawarsa kedua abad 20-an memang muncul pergerakan
pemuda yang di pelopori oleh Boedi Utomo sejak tahun 1908. Selanjutnya di susul
dengan berdirinya perguruan Taman Siswa tahun 1922, Sumpah Pemuda 1928, dan
pada bidang sastra muncul Poejangga Baroe tahun 1933, serta Polemik
Kebudayaan 1935 sampai 1939. Dengan adanya organisasi pergerakan pemuda
tersebut, ternyata menjadi stimultan dan terus memunculkan perkumpulan di
bidang lain. Salah satunya adalah perkumpulan seniman yang mengibarkan bendera
Nasionalisme dan berpihak pada Kerakyatan. Tepatnya pada tanggal 23 Oktober
1938 Persagi lahir, yang merupakan akronim dari Persatuan Ahli Gambar
Indonesia.
Suasana rapat tahunan Persagi. |
Deklarasi Persagi pada bulan Oktober
tersebut berlangsung di Gedung Sekolah
Rakyat “Ksatryan School met de Qur’an”, di Gang Kaji Batavia. Pengurus Persagi
pada periode pertama terdiri dari Agus Djaja sebagai ketua, Sudjojono sebagai
sekretaris dan Rameli sebagai komisaris. Selain nama pengurus di atas sebagai
anggota Persagi antara lain Soediardjo, L.Setiyoso, Emiria Soenassa, Saptarita
Latief, Herbert Hoetagaloeng, S. Toetoer, Sindhusisworo, Soeaib, Soekirno,
Soerono, Suromo dan Otto Djaja. Sebagai kelompok pergerakan di bidang budaya
yang mengibarkan semangat baru dan panji-panji Nasionalisme Kerakyatan, Persagi
aktif mengadakan rapat tahuan, diskusi, melukis bersama, dan pameran.
Tujuan dari kelompok Persagi
ditekankan pada pencarian corak seni lukis Indonesia yang baru lewat kerjasama
di sanggar dan diskusi antara sesama anggota. Pemahaman dari Persagi melukis
tidak hanya pemandangan sawah, sungai, pantai dan gadis yang cantik. Tetapi
melukis harus juga melihat dari sisi kemanusiaannya, selain estetika tedapat
nilai lain yang harus dimunculkan dalam sebuah karya seni. Keyakinan lainnya
adalah dalam melukis hendaknya bersikap sederhana dan jujur mengungkapkan
objek. Realitas objek-objek di sekitar pelukis sesungguhnya merupakan kesaksian
kehidupan yang kaya. Berkarya dengan jujur dan sederhana artinya membuat karya
seni sesuai dengan realita yang ada dan tanpa ada untuk membaguskan objeknya.
Misalkan lingkungan sekitar tentang peperangan, penderitaan rakyat kecil, gadis
desa, objek tersebut digambar dengan jujur tanpa ada unsur rekayasa untuk
memperindahnya. Biarkan realita itu bicara dalam sebuah karya seni, itulah
faham yang diterus dikobarkan oleh kelompok Persagi.
Adalah S. Sudjojono yang aktif
menyuarakan semangat seni lukis Indonesia Baru melalui tulisan-tulisannya yang
dimuat di majalah dan surat kabar. Seni lukis sebagai salah satu unsur
kebudayaan suatu bangsa dengan sendirinya seharusnya mengungkapkan corak yang cocok dengan watak bangsa itu.
Meskipun demikian, lukisan-lukisan Indonesia pada saat itu belum juga mempunyai
corak Indonesia. Hal itu karena kultur yang ada masih hilir-mudik. Di satu
pihak masih besifat kejawaan, kekunoan, dan di lain pihak bersifat kebaruan
jawa dan bahkan kebarat-baratan. Lewat tulisannya, Sudjojono menganjurkan
kepada para pelukis untuk mempelajari kehidupan rakyat jelata di
kampung-kampung dan di desa-desa.
Lukisan Agus Djaja "The Pursuit" |
Bertolak dari kebiasaan para pelukis Mooi
Indie, para pelukis yang tergabung dalam Persagi mencipta lukisan dari
objek yang ada di lingkungan sekitar. Para pelukis tersebut melukis tentang
kehidupan nyata yang ada di sekitar mereka, tentang susana kampung, tentang
penderitaan rakyat, seni pertunjukan, perjuangan, gerilyawan, dan gadis pribumi
dengan nuansa yang sesungguhnya. Jadi para anggota persagi melukis realita
tentang penderitaan rakyat jelata, selain menyentuh nilai estetika lukisan
hendaknya menyentuh nilai kemanusiaan. Tetapi tidak semua anggota persagi
mencipta karya yang berbau kemanusaiaan tetapi ada juga yang masih menggambar
pemandangan. Selain itu ada juga yang mengadopsi tema budaya lokal seperti
wayang, dimana itu terlihat pada corak lukisan Agus Djaja. Lukisan Agus Djaja
mengadopsi unsur wayang, yang telah dideformasi dan tampak lebih ekspresif dan
manusiawi. Hal ini dapat dilihat pada lukisannya yang berjudul “The Pursuit”
(Pengerjaran). Dalam lukisan tersebut tampak sosok wayang sedang naik kuda
sambil memanah, dimana lukisan tersebut merepresentasikan tokoh Arjuna yang
gagah berani dalam dunia pewayangan.
Selain itu lukisan-lukisan Agus Djaja
menggambarkan tentang kesenian rakyat, seperti yang berjudul “Ronggeng”,
Tjap Go Meh”, “Topeng”, De Goochelaar (Tukang Sulap), dan “Koeda
Kepang”. Lain lagi dengan Sudjojono, lukisan Sudjojono mencerminkan
kegelisahan dalam menyelami realitas kehidupan. Karya-karya dari Sudjojono
antara lain “Di Depan Kalmboe Terboeka”, “Mainan”, “Djoengkatan”, “Anak-anak
Soenter”, “Tjap Go Meh” dan “Kawan-kawan Revolusi”. Selanjutnya ada
pelukis Emiria Soenassa, adalah salah satu pelukis wanita Indonesia pertama
yang bergulat dengan seni lukis sebagai ekspresi. Maka dari itu Emiria
bergabung dengan Persagi sebagai media untuk mengepreksikan konsep estetikanya.
Karya dari Emiria memiliki corak primitif yang mengungkapkan rasa naif yang
jujur. Dimana itu tercermin dalam beberapa karyanya antara lain “Roemah di
Tepi Hoetan” dan “Perkawinan Dajak”.
Karya dari Sudjojono "Di Depan Kalambu Terbuka" sedang di display oleh Mike Susanto (Dosen saya sewaktu Kuliah) dalam suatu pameran. |
Otto Djaja merupakan pelukis termuda dalam
Persagi, dan merupakan adik dari Agus Djaja. Karakter lukisan dari Otto Djaja
mempunyai karakter naif yang cukup kuat. Karya-karyanya yang dikenal mempunyai
karakter naif antara lain pada “Pertemoean” dan “Kethoek Tiloe”.
Selanjutnya pelukis Persagi lainnya adalah R.M. Soerono, Soediardjo, dan
Suromo. R.M. Soerono merupakan salah satu pelukis yang berbakat dalam seni
lukis. Bakat seninya diasah oleh pulukis Belanda yaitu Velthyusen, hingga
menjadi pelukis profesional. Lukisan-lukisannya antara laian berjudul “Terug
van de Weide” (Kembali dari Padang Rumput), “Tarian Timoer” dan “Perahu
Majang”. Anggota lain yang sudah terjun ke dunia profesional dalam dunia
artistik adalah R.Soediardjo dan Suromo. Kedua orang tersebut bekerja sebagai drafter
(penggambar) yang menangani pekerjaan lukisan kaca, mural dan keramik di
biro arsitek Robert Deppe, di Batavia. S.Soediardjo mendapat perhatian besar
dari para pengamat seni, karena kekuatan ekspresi lukisannya yang di pamerkan
di Batavia Kunstkring yaitu “Bade om Zielenheid” (Doa untuk Pendeta)
Suromo adalah pelukis yang mengasah
kemampuan artistiknya dengan bekerja di Batavia, sebagai desainer atau
penggambar pada perusahaan Robert Deppe. Selain itu Suromo memeroleh kemampuan
melukisnya dengan belajar akademis di Pringadi. Setelah pada masa setelah
Persagi Suromo tetap dikenal sebagai pelukis yang aktif, dengan sifat sebagai “een
geboren schilder” (pelukis berbakat), yang lebih suka bekerja dengan
produktif daripada berdebat dalam wacana. Anggota Persagi lainnya adalah Abdul
Salam, pelukis kelahiran Banyumas 1912, adalah ilustrator majalah mingguan “Pembangoen”
dari surat kabar “Pemandangan”. Selain itu ia juga bekerja di bagian
menggambar Kantor Statistik dan di kantor Biro Reklame “A de le Mar” Batavia. Suromo
juga mengasah bakat melukisnya pada pelukis Belanda Pip Pijpers. Karya-karya
dari Suromo memunculkan karakter kejujuran dan mengabdi pada realitas yang ada.
Pelukis Persagi selanjutnya adalah
G.A. Soekirno, yang karakter lukisannya mempunyai kecenderungan pada gaya
karikatural. Pelukis-pelukis di atas adalah yang memegang mempunyai karakter
dalam ide maupun konsep. Mereka mencoba membuat lukisan dengan gaya tersendiri
tanpa dibayang-bayangi oleh gaya Moii Indie. Sehingga dari corak
lukisannya cenderung ekspresif dan
impresionisme, di Smana kedua aliran
tersebut memang berasal dari Eropa. Tetapi ada Pelukis Persagi yang masih tetap
berkarya di bawah pengaruh Mooi Indie. Mereka adalah Herbert Hutagaloeng
dan S. Toetoer, yang masih berkutat dengan lukisan pemandangan yang indah dan
hijau. Lukisan dari Herbert Hutagalung yang pernah dipamerkan dalam pameran
bersama Persagi adalah “Eenzaam Bamboevolt” (Rakit Bambu yang Terasing).
S. Toetoer yang masih senada karyanya dengan Herbert Hutagaloeng, menampilkan
jenis karya yang masih berbau Mooi Indie. Karya-karya yang pernah
dipamerkan dalam pameran pertama persagi antara lain “Indonesische Venus”,
“Pemandangan di Molenvliet” dan “Pemandangan di Mega Mendoeng”.
Menurut beberapa pengamat S.Toetoer mempunyai kekuatan warna yang berkualitas.
Untuk dapat membuktikan eksistensi
kelompok mereka, maka dari itu Persagi mencoba mengadakan pameran sebagai bukti
keberadaannya. Tetapi bukan usaha yang mudah untuk dapat memamerkan karya seni
mereka pada zaman itu. Di mana
kekuatan birokrasi pemerintahan di Batavia pada waktu itu masih dipegang oleh
pemerintah Belanda. Persagi mencoba untuk dapat berpameran di gedung Bataviasche
Kunstkring, tetapi upaya untuk pameran di gedung tersebut di tolak. Penolakan
tersebut langsung dilontarkan oleh ketua dari Bataviasche Kunstkring, Mvr. De
Loos Haaxman bahwa bangsa Indonesia dianggap hanya cocok sebagai petani.
Pernyataan yang senada datang dari pelukis Velthuysen di koran Nieuwsgier ,
bahwa pelukis Indonesia lebih baik menanam padi saja, daripada melukis. sebab
kalau menanam padi, orang Jawa udah mengerti dan menguasai.
Lukisan Otto Djaja "Pertemuan" yang memilki corak naif yang kuat. |
Itulah pernyataan dari para penguasa
Belanda yang diskriminatif, maka dari itu Persagi mencari jalan lain untuk
dapat pameran perdana. Tetapi pada akhirnya Persagi dapat berpameran di toko
buku Koff & Co. Pameran perdana tersebut diikuti oleh para anggota Persagi
dan karya yang dipamerkan tanpa seleksi yang ketat, para pelukis dapat
memutuskan lukisan yang akan dipamerkan. Pameran perdana tersebut berlangsung
di bulan April 1940. Tahun berikutnya Persagi akhirnya dapat juga berpameran di
gedung Bataviasche Kunstkring pada tanggal 7 sampai 30 Mei 1941. Keberhasilan
tersebut merupakan fenomena yang sangat bermakna untuk pelukis pribumi. Laporan
bernada positif datang dari surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, mengungkapkan
bahwa pelukis pribumi yang sebagian besar adalah para pemuda, tidak menemui
kesulitan dalam berkarya. Warna-warna lukisan mereka mencolok, dan pandangan
keseniannya sering muncul lebih menyakinkan daripada bentuk lukisannya yang
masih mencari-cari.
Itulah beberapa kegiatan yang
dilakukan oleh Persagi sebagai bukti eksistensi kelompok. Dengan membawa faham
baru tentang corak seni lukis Indonesia yang baru, pelukis tersebut lepas dari
tradisi lama. Dalam karya-karya mereka menampilkan beragam objek yang tidak
hanya eksotis dan romantis. Tetapi dalam karya mereka terdapat kedalaman makna
berupa nilai-nilai yang ditanamkan terhadap karya seni. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sudjojono tentang gaya lukisan Mooi Indie. Bahwa
lukisan-lukisan Mooi Indie yang serba tenang dan damai dikatakan sebagai
pelepas jemu para turis yang dinegerinya hanya melihat skyscrapers (bangunan-bangunan
pencakar langit). Lebih jauh Sudjojono mengungkapkan bahwa seniman Persagi
tidak bisa menghormati pelukis-pelukis yang enak-enak menggambarkan lembah,
gunung, awan-awan, dan mimpi di sorga sambil berkata : “O, romantisnya
Priangan”. Disisi lain pelukis-pelukis itu tidak mendengarkan para petani yang
mengeluh, merintih, dan menangis sebab kakinya terekena cangkul, berdarah dan
luka parah. Lukisan-lukisan Mooi Indie itu barankali bagus, namun rasa
kemanusiaannya tidak ada.
S.Sodjojono tokoh sekaligus penggerak Persagi. |
Dengan keragaman konsep estetis atau
kekayaan wacana dalam tubuh Persagi akhirnya melahirkan berbagai bentuk karya
yang khas dari setiap senimannya. Disamping itu mereka mempunyai pandangan yang
sama dalam mencari corak seni lukis Indonesia yang baru. Serta memperjuangkan
harkat pelukis pribumi di mata orang Belanda, maka dari itu lukisan-lukisan
anggota Persagi mempunyai corak yang lain dibandingkan dengan Mooi Indie.
Kredo antiteknik dalam proses kreatif mereka semakin menguatkan kecenderungan
kebebasan menuju ke corak lukisan ekspresionisme. Dalam perjalanan Persagi yang
cukup singkat itu, tahap pematangan visi estetik anggotanya baru tercapai
setelah Persagi bubar. Persagi bubar pada waktu pendudukan Jepang di Batavia
sekitar tahun 1942, tetapi eksponen-eksponennya masih tetap berkarya dan tumbuh
menjadi pelukis-pelukis yang mengisi kehidupan seni lukis Indonesia modern.
Itulah Persagi yang memberontak
tradisi lama yang ditanamkan oleh kolonial Belanda, dimana konsep estetis yang
menurutkan selera turistis dihantam dengan konsep jiwa Nasionalisme kerakyatan.
Dengan megibarkan panji-panji kerakyatan diharapkan corak seni lukis Indonesia
baru akan muncul. Walaupun secara teknik karya dari pelukis Persagi masih
mengadopsi dari Barat, yaitu teknik ekspresionisme dan impresionisme. Tetapi
kandungan estetika dan konsep seni yang ada dalam karya seniman Persagi,
mempunyai jiwa yang diharapkan membawa corak yang baru. Melalui penciptaan
objek yang sesuai dengan realita diharapkan dapat memunculkan semangat dan jiwa
Nasionalisme akan tumbuh pada tiap senimannya. Wacana paradigma seni lukis
Indonesia Baru dari Persagi, akhirnya memberikan warisan yang laten yaitu
perdebatan orientasi antara Timur dan Barat. Indentitas merupakan elemen yang
menjadi wacana krusial dalam setiap periode perkembangan seni lukis modern
Indonesia. Dengan itu Persagi telah membuktikan lewat paradigma dan karya yang
membawa perubahan dalam seni lukis Indonesia modern.[]
///Diolah dari berbagai sumber.
///Diolah dari berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment