Cultural Studies
Cultural Studies.
Masyarakat dan Media Kontemporer
Membaca peradaban manusia.
Dunia yang
didiami manusia selalu berpogres meninggalkan masa lalunya, karena manusia itu
sendiri dibekali akal dan pikir untuk mengolah dan mengubah dunia sesuai dengan
yang diinginkan. Dan tentunya akal dan pikir itu terbatas tidak dapat mengubah
atau menjadikan segala sesuatunya absolut, karena kesempurnaan absolut itu
hanya Tuhan yang memiliki. Peradaban manusia dari masa ke masa selalu
menghasilkan budaya dan hasil pikir yang tentunya berbeda. Peradaban manusia
pra sejarah tentunya berbeda dengan peradaban klasik atau gothic. Pemikiran
manusia terus berkembang dan belajar dari kesalahan masa lalunya, menjadikan
manusia itu memiliki bekal untuk bangkit dan mengubah peradabannya sendiri.
Semua pemikiran dan ide terus berkembang untuk menghasilkan sesuatu yang
memudahkan manusia dalam menaklukan dunia itu sendiri.
Penemuan demi
penemuan hadir melengkapi kehidupan dan sebagai penunjang untuk mencapai sebuah
tujuan. Penemuan-penemuan penting dari masa ke masa menandai bahwa manusia
memang membutuhkan alat atau instrumen untuk mencapai sebuah tujuan. Ide-ide
yang dihasilkan manusia itu dapat dikatakan sebuah keajaiban dalam mengolah dan
membuat peradaban semakin maju. Sebagaimana yang dikatakan oleh filsuf Yunani
Sofokles “Banyak keajaiban di dunia ini, tetapi tidak ada sesuatu yang lebih
ajaib dari pada manusia”. Tentunya pendapat di atas adalah sebuah ungkapan yang
antroposentrisme, dimana dalam konteks tersebut mengabaikan kekuatan yang
Absolut dan manusia sebagai pusat alam semesta. Memang manusia disebut juga homo
sapiens, mahluk arif yang memiliki akal budi sehingga dengan demikin
mengungguli semua mahluk hidup yang lain. Nama lain untuk menunjukan manusia
adalah homo faber, manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan malah
menciptakan alat-alatnya sendiri. Dalam bahasan ini memang akan difokuskan pada
ide, pemikiran, ideologi, dan hasil karya cipta dari manusia.
Memang sebuah
peradaban diciptakan oleh manusianya, sehingga ia dapat menaklukan dunia. Dalam
konteks ini dapat dikatakan bahwa manusia adalah mahluk yang serba butuh fisik
dan rohani. Kebutuhan menunjukan bahwa manusia adalah mahluk yang belum
selesai, artinya untuk memenuhi segala kebutuhannya ia harus berkerja dan berkarya(menciptakan).
Hal ini tentunya akan relevan dengan ungakapan Rene Descrates “Cogito ergo
sum”, yang mengandung arti aku berpikir maka aku ada. Dari keterangan di
atas menjadi jelas, bahwa manusia itu adalah mahluk yang terus berpikir untuk
menghasilkan karya sebagai wujud eksistensi individual atau kelompok. Tetapi
dalam perkembangannya manusai terkadang lupa atau dimanfaatkan oleh sebuah
ciptaannya. Dalam konteks ini ia tenggelam dalam keramaian dan kebisingan
massa, “Weltverlorenheit” kata Heidegger. Ia kehilangan kediriannya
untuk menjadi fungsi bagi seluruh mekanisme hidup.
Kita tahu hasil
budaya yang diciptakan manusia dapat berupa seni, alat-alat, penemuan, tempat
ibadah, dan teknologi. Dan pada hakekatnya kebudayaan adalah perwujudan proses
perkembangan manusia. Namun adalah ironi bahwa pada suatu ketika manusia
diperbudak oleh hasil karya kreasinya sendiri. Disini manusia mulai dihimbau
oleh hasil-hasil yang serba modern dan mutakhir, sehingga ia tidak sadar
terperangkap dalam kehidupan mekanistis. Dan tentunya kita semua menyadari
bahwa perkembangan teknolgi yang diciptakan manusia, dapat membawa manusia
menemukan kemudahan, tetapi disisi lain manusia juga dapat diperbudak oleh
hasil ciptaannya. Memang terjadi kontradiksi mengenai hasil ciptaan manusia, di
sisi lain dapat membantu manusia tetapi di sisi lain dapat merugikannya. Itu
semua tergantung dari manusianya sendiri dalam menggunakannya. Maka dari itu
kita di tuntut bijaksana dalam menggunkaan segala sesuatunya entah itu
teknologi, ilmu pengetahuan, atau yang lainnya.
Dengan adanya
perkembangan teknologi memudahkan manusia dalam segala sesuatunya. Namun kalau
kita tengok ke belakang, perababan manusia secara historis memang menuntut
sebuah kemajuan dalam segala bidang, tak terkecuali dalam bidang teknologi dan
juga pemikiran filsafat. Pemikiran filsafat seolah menyempurnakan dari sebuah
peradaban manusia dan sebagai penyeimbang apa yang telah di capai oleh manusia.
Peradaban Yunani melahirkan para pemikir seperti Plato, Aristoteles, Thales,
Anaximenes, Heraklitos, Parmenides dan masih banyak lagi. Dimana para filsuf
jaman tersebut masih mencoba memecahkan misteri tentang alam semesta dan
kehidupan di bumi. Pada periode selanjutnya muncul filsuf seperti Rene
Descrates, Auguste Comte, Imanuel Kant, Hegel, Nietzshe, Sartre, Karl Marx, dan
lainnya. Pada periode ini para filsuf mencoba memikirkan tentang manusia dan
kehidupan.
Hingga perkembangan filsafat manusia telah
melangkah jauh dan melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang orisinal. Dari era
klasik, modern dan postmodern, telah melahirkan banyak sekali para pemikir.
Dalam konteks bahasan ini akan difokuskan pada hasil ciptaan manusia yaitu
berupa teknologi, dan bagaimana kita menyikapi dan pemikiran seperti apa yang
relevan dengan kondisi manusia postmodern pada saat ini. Memang tidak dapat
dipungkiri dengan adanya teknologi kita dimudahkan dalam segala sesuatunya.
Tetapi dalam praktiknya karena terdapat perbedaan dalam menyikapi teknologi
maka yang terjadi adalah sebuah kelalahpahaman. Karena laju teknologi yang
berkembang sangat cepat, sehingga ada sebagian manusia yang tidak siap dengan
kondisi yang ada dihadapannya. Maka yang terjadi adalah shock culture atau bahkan phantasmogoria,
akibat yang ditimbulkan dari sebuah teknologi ciptaan manusia itu sendiri.
Kondisi Postmodern.
Di atas telah
dibahas mengenai peradaban dan filsafat manusia yang mengubah arah pemikiran
manusia dan juga hasil ciptaannya. Itu semua sebagai dasar dari tulisan ini,
dimana pemikiran manusia dari masa ke masa selalu berubah. Sehingga yang timbul
adalah perbedaan epistemologis atau paradigma dari setiap individunya. Sebelum
membahas lebih jauh, ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu belantara
postmodernisme yang menjadi bahasan tulisan ini. Pemikiran atau teori apa saja
yang dirasa relevan dalam penulisan ini, sehingga nantinya tidak terjadi salah
interpretasi. Memang pada era sekarang kita ini hidup dalam era postmodernisme,
yang jauh berbeda dengan era modern atau klasik.
Sebelum era
postmodern tentunya ada sebuah masa yaitu, modern. Modernitas adalah sebutan
bagi kondisi kongkret sosial, ekonomi, politik, dan budaya, zaman modern
berbeda dengan jaman pertengahan. Dan munculnya masa modern tersebut dipicu
oleh peristiwa penting yang akan mengubah arah pemikiran manusia.
Peristiwa-peristiwa penting yang mendorong modernitas antara lain (a) Revolusi
Ilmu Pengetahuan (b) Revolusi Prancis dan (c) Revolusi Industri Inggris. Semua
itu menjadi tanda dalam era pemikiran baru setelah abad pertengahan atau abad
kegelapan. Dan era modern melahirkan elemen-elemen modernisasi seperti Sains
dan Teknologi, Demokrasi dan Kapitalisme. Dan ciri masyarakat modern adalah
heterogen, industrial, dan sekuler dimana sains dan teknologi ganti memainkan
peran kunci menggantikan tradisi dan agama. Era modern sekaligus sebagai
penanda lahirnya sebuah pemikiran selanjutnya, yaitu postmodern.
Postmodern adalah
sebuah era setelah modern, dan ditandai dengan pemikiran yang lebih bebas dan
lepas dari struktur. Istilah postmodernisme sendiri sesunggunya sudah digunakan
sejak tahun 1917 oleh Rudolph Pannwitz. Pannwitz adalah seorang filosof Jerman
yang secara kritis menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan barat modern.
Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa, istilah postmodern pertama kali
digunakan oleh Frederico de Onis pada 1930-an, untuk menunjukan reaksi minor
terhadap modernisme. Terdapat perbedaan dalam mendifinisikan munculnya istilah
postmodern, tetapi pada intinya era postmodern memutus hubungan dengan
pemikiran masa lalu. Awalan ‘post’ mempunyai arti sesuatu yang datang
setelahnya, sesuatu pecahan atau pemutusan dengan modern yang di definisikan
dengan cara pembedaan pula dengan modern itu.
Postmodern
ditandai dengan kondisi pemikiran yang bebas, Re-interpretasi, Parodi,
Intertektualitas, Strukturalisme, Poststrukturralis, Dekontruksi, dan
Semiotika. Sebagai realitas pemikiran baru postmodernisme meluluh-lantakan
konsep modernisme seperti adanya subjek yang sadar-diri dan otonom, adanya
represantasi istimewa tentang dunia dan sejarah linier. Kondisi seperti ini
seolah membebaskan pemikiran manusia keluar dari lingkaran, sehingga dihasilkan
pemikiran-pemikiran baru. Dan sebagai aliran yang menekankan perbedaan,
memperlihatkan kecondongan untuk meniru dan mengadopsi filsafat ‘inklusif’ yang
menyerukan penggunaan secara eklektis unsur-unsur dari masa lampau. Dan kondisi
postmodernisme, sebaliknya menghargai kembali narasi-narasi kecil (little naratives),
yaitu permainan-permainan bahasa (language game) dan bersifat heterogen,
yang dimainkan dalam institusi-institusi lokal yang plural, yang unik, dan
mengacu pada aturan-aturan main yang bersifat determinasi lokal. Semua itu menjadi satu paket dalam satu kemasan
yang disebut postmodernisme.
Dalam dunia seni
kehadiran postmodern disambut oleh para seniman dengan antusias, karena dirasa
telah membebaskan dari belenggu kreativitas. Seniman postmodern dapat berkarya
dengan mengadopsi reruntuhan pemikiran masa lalu dan menciptakannya dalam
bentuk yang baru. Di antara berbagai ciri yang berasosiasi dengan
postmodernisme dalam bidang seni adalah : penghapusan batas antara seni dengan
kehidupan sehari-hari; runtuhnya perbedaan hierarkis anatara budaya tinggi
dengan budaya umum; suatu pencampuran stilistik yang mementingkan ekletisisme
dan pencampuran berbagai aturan; parodi, pastiche, (karya seni yang
dimaksudkan untuk menyindir seniman lain), ironi, lelucon dan pertunjukan
tentang ‘kedangkalan’ permukaan budaya: menurunnya keaslian/bakat produser
seni; dan asumsi bahwa seni hanya merupakan pengulangan.
Lantas apa yang
terjadi dalam dunia teknologi pada era kontemporer, apakah mengakibatkan efek
pada manusianya? Dan bagaimana manusia postmodern menyikapi sebuah loncatan
teknologi yang cukup jauh. Jika tidak ada kesiapan pada manusia dalam
menghadapi gempuran teknologi yang begitu cepat, maka yang terjadi adalah shock
culture dan phantasmogoria atau bahkan chaos interpretation.
Memang kita harus siap dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat dan
membawa perubahan dalam kehidupan manusia. Menurut Toynbee kemajuan teknologi
Barat telah menimbulkan krisis kemanusiaan melalui beban biaya perubahan yang
diluar kapasitas kehidupan individu yang bisa diadaptasi. Memang inilah kondisi
masyarakat kontemporer yang tidak dapat dilepaskan dari peran sebuah teknologi
ciptaan manusia itu sendiri.
Masyarakat Cyber.
Salah satu tanda
masyarakat kontemporer adalah kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kondisi masyarakat yang menuntut segala sesuatunya serba cepat,
instan, cepat saji, dan pragmatis. Dan sebagai solusi itu semua maka di gunakan
teknologi, yang akan mempermudah manusia dalam mencapai tujuannya. Salah
satunya adalah teknologi internet atau jaringan global, yang menghubungkan
manusia dari berbagai belahan dunia melalui sebuah layar. Jaringan internet
atau juga dapat disebut juga dengan istilah cyberspace atau dunia virtual.
Jaringan intrenet mempermudah mendapatkan segala sesuatunya, dari mulai
konsumsi, komunikasi, bacaan, literatur, informasi, dan bahkan seksualitas.
Semua itu dapat hadir di jaringan internet dalam bentuk simulasi dari dunia
nyata dan bersifat tidak aktual. Kapan tepatnya istilah cyberspace muncul di
dalam kehidupan kontemporer tentunya dapat ditelusuri secara historis.
Istilah cyberspace
diperkenalkan pertama kali oleh seorang novelis fiksi ilmiah William Gibson
dalam bukunya Neuromancer. Dia mendifinisikan cyberspace adalah
sebuah “....halusinasi yang dialami oleh jutaan orang tiap hari ....(berupa)
representasi grafis yang sangat kompleks dari data di dalam sistem pikiran
manusia yang diabstraksikan dari bank data setiap komputer. Cyberspace
telah menjadi bagian dari manusia postmodern, mereka sudah terbiasa menggunakan
piranti dan aplikasi yang ada dalam jaringan komputer. Masyarakat modern dan
postmodern dalam setiap segi kehidupannya sudah terkomputerisasi dan terkoneksi
dengan jaringan global. Dunia cyberspace merupakan sebuah ruang
simulasi, ilusi, tidak nyata, tidak aktual dan bersifat virtual. Dunia tersebut
menjadi metafor sebuah “ruang” simbolis yang menjadi tempat “kediaman” jutaan
manusia, tidak dalam pengertian fisik dan kadang-kadang ia dipertukarkan dengan
istilah net.
Manusia
kontemporer terkumpul dalam sebuah jaring (net) virtual, yang menjadikan
mereka terhubung dengan manusia di belahan benua lain. Walaupun ruang tersebut
tidak aktual atau bahkan sebuah simulakrum dari dunia nyata, tetapi manusia
sudah terlena dengan apa yang diciptakannya. Dunia virtual adalah sesuatu yang
nyata namun tidak konkret. Dan secara etimologis adalah apa yang menjadi esensi
tetapi tidak dalam bentuk. Memang semua itu dapat melebur dalam sebuah layar
digital, semua bersifat semu dan tidak konkret. Menurut Joseph Levy, virtual
adalah keadaan yang tidak aktual dalam hakikat dan efek, tetapi aktual dalam
fakta. Tetapi masyarakat postmodern menikmati segala kemudahan yang diperoleh
dengan teknologi. Semua teknologi tersebut memudahkan manusia berselancar dalam
mengarungi dunia dan mencari informasi yang cepat atau instan. Dan ini menjadi
ciri masyarakat postmodern ditandai oleh kedangkalan, kepura-puraan atau
kelesuan emosi, hilangnya historisitas, teknologi reproduktif, dan dasar semua
ini adalah sitem kapitalis multinasional.
Manusia
postmodern masuk dan menikmati sebuah ruang imajiner cyberspace, dan
bersosialisasi menggunakan media tersebut, walaupun secara substansial ruang
tersebut bersifat maya atau semu. Ruang cyberspace adalah data space,
yang dibentuk oleh bit-bit atau bytes, yang terbebas dari hukum
fisika. Di dalam cyberspace, hukum fisika yang bekerja dengan cara yang
berbeda : tanpa gesekan (zero friction), gravitasi extra (extra-gravitation),
dan geometri non-Euclidean, yang semuanya dapat menghasilkan pelbagai skenario
kehidupan virtual yang sangat menjanjikan. Dengan adanya dunia cyber
kita dapat merasakan dan mendapatkan pengalaman-pengalam baru. Dan pengalaman
tersebut hampir sama dengan yang ada di dunia nyata. Dan sebagaimana telah
disebutkan di atas dengan adanya kemudahan tersebut kita menjadi masyarakat
yang tidak kreatif, serba instan, reproduktif, reinterpretasi, anti sosial, bricolage,
dan intertekstualitas.
Memang itulah
kondisi yang ditimbulkan oleh adanya media virtual atau cyber, semua itu
tidak dapat dihindari dalam kehidupan kita. Dengan adanya media cyber kita
dapat pengalaman baru yang tidak terbayangkan sebelumnya di dunia nyata. Dengan
adanya internet kita dapat melakukan kegiatan sehari-hari yang ada di kehidupan
nyata (bisnis, rapat, diskusi, hiburan, belanja, kuliah, seks) dengan cara yang
baru, yaitu virtual. Sehingga kita seolah dapat merasakan perasaan baru yang
ditimbulkan oleh media cyber tersebut, walaupun perasaan tersebut tidak
nyata tetapi rasa (sense) tersebut hampir mendekati apa yang ada di
dunia nyata. Tetapi pada tingkat yang lebih tinggi cyberspace merupakan
pembesaran efek perasaan tersebut. Menurut Yasraf Amir Piliang terdapat lima
perasaan yang diakibatkan oleh dunia cyber, yang pertama adalah perasaan
meruang (sense of space), perasaan menyata (sense of the real),
perasaan mendiri (sense of the self), perasaan mengkomunitas (sense
of comunity), rasa menavigasi atau kuasa(sense of power).
Dan kita sebagai
manusia postmodern seolah hanyut dalam sebuah ekstse yang ditimbulkan oleh
media tersebut. Didalam dunia cyberspce selain kita dapat merasakan
perasaan yang hampir sama dengan kehidupan nyata. Tetapi di sisi lain efek yang
ditimbulkan oleh cyberspace adalah hilangnya nilia sosial dan batas
sosial. Walaupun lewat media jejaring sosial yang ada di internet, kita dapat
terhubung dengan komunitas atau individu lain. Tetapi semua itu bersifat semu
dan tidak berdasarkan ideologi kebangsaan atau semangat berpikir kreatif, semua
itu membuat kita larut dalam ektase hiburan semata. Di dalam era globalisasi
dan abad virtual dewasa ini, banyak konsep-konsep sosial seperti integrasi,
kesatuan, persatuan, nasionalisme, dan solidaritas, tampak semakin kehilangan
realitas sosialnya dan akhirnya menjadi mitos. Itulah gambaran realitas sosial
yang ditimbulkan akibat dari dunia cyberspace yang ada hanya realitas
semu. Dan kita bahkan menjadi lupa dengan realitas sosial yang ada di sekitar
kita. Kita lebih senang berkomunikasi dengan orang yang ada dalam media
internet, dibanding dengan tetangga kita sendiri, dengan teman kita atau
lingkungan keluarga, kita hanyut dalam sebuah komunitas virtual. Yang ada
sekarang bukanlah satu komunitas yang diikat oleh satu ideologi politik
tertentu, malainkan individu-individu yang satu sama yang lain berlomba dalam
sebuah arena duel, kontes tantangan, rayuan, dan masyarakat konsumer. Itulah
sebuah ironi dalam rimba postmodern dan kita ternyata sudah melakukan hal-hal
tersebut di atas.
Dengan adanya
dunia virtual masyarakat kita dituntut untuk siap mengikuti arus, yang tidak mengikuti
maka dapat dipastikan akan tertinggal dalam informasi dan juga ilmu
pengetahuan. Dunia cyber menawarkan berbagai kemudahan dalam mengakses
segala informasi, tetapi di sisi lain cyber juga mengakibatkan
ketidakpastian dalam makna atau tanda. Dalam artian ketika kita mengakses
sebuah informasi, tetapi apakah informasi tersebut valid atau tidak atau hanya pseudo
bahkan hoax. Disini terjadi
ambiguitas dalam hal pemaknaan suatu informasi atau data yang diperoleh lewat
internet. Tetapi itulah kondisi sekarang yang penuh dengan kedangkalan,
reproduksi makna, reinterpretasi, intertekstualitas, dekontruksi, pastiche,
bricolage, hiperkonsumsi dan lainnya. Salah satu problematika di dalam
dunia hiper-realitas dan cyberspce adalah meluasnya kebrutalan tanda (cybersemiotic
violence). Pemerkosaan terhadap gambar, hibrida visual yang tidak
terkendali, image violence, cyber crimanilty, distorsi terhadap
kebenaran, pembalikan arah informasi, pemutar balikan fakta, perusakan
ikon-ikon pada situs, simulakrum media- adalah di antara pelbagai kekerasan
semiotik, yang memenuhi sudut-sudut ruang di dalam dunia hiper-realitas dan
cybersapace.
Ketika Gogling dan Re-Post dipermasalahkan.
Di atas telah
dibahas panjang lebar dari mulai peradaban manusia, postmodern, cyber, maka
dalam bahasan selanjutnya akan difokuskan, pada fenomena yang ada dilingkungan
penulis tinggal. Penjelasan di atas diharapkan menjadi landasan dalam pokok
bahasan berikut, sehingga tidak terjadi salah interpretasi atau salah
penafsiran. Kita tahu dan menyadari di abad milenium ini, kita memang
membutuhkan beragam infrormasi yang cepat dan aktual. Kita membutuhkan
pengetahuan atau wawasan karena kita merasa dituntut oleh semangat jaman, yang
memang menuntut kita selalu up to date dalam segala hal, tak terkecuali
teknologi. Manusia postmodern memang ditandai dengan kemajuan teknologi, dan
teknologi membuat manusia dapat mengakses segala informasi yang datang. Dan
dengan teknologi manusia menciptakan barang-barang konsumsi dengan cepat. Sehingga proses konsumsi akan terus dapat
dipertahankan dalam rangka mewujudkan kapitalisme global.
Media sebagai
perpanjangan tangan dari postmodenisme dan sekaligus kapitalisme, seolah
menjadi alat yang sangat ampuh dalam menjalankan tugasnya. Kita tahu dalam
postmodern segala sesuatunya menjadi bisa dan dapat dilakukan atau
dilaksanakan. Paradigma postmodern lepas dari tradisi lama yang terlalu
memenjara pikir manusia. Sehingga yang timbul pemikiran kritis yang membawa
perubahan dalam peta ilmu pengetahuan manusia. Ferdinand de Sausure melahirkan
semiotika diikuti oleh Roland Barthes dan Umberto Eco. Jaques Derida melahirkan
paradigma dekonstruksi, Julia Kristeva menyarankan intertektualitas. Lahir pula
istilah simulasi, bricolge, hiper-realitas, Genealogi, kitsch,
parodi, pastiche, dan lainnya. Semua itu lahir di era postmodern, pemikiran
atau konsep tersebut mempermudah manusia mengolah pengetahuan dan menciptakan.
Dalam konteks ini
adalah ketika kita mengakses sebuah informasi melalui internet atau mengkopi
informasi, masih ada sekelompok orang yang mempermasalahkan dari mana informasi
tersebut di dapatkan. Jika kita memahami konsep dari postmodern maka kita tidak
akan meributkan tentang bagaimana kita memperoleh sebuah informasi atau
mengirim kembali informasi tersebut (re-posting). Dengan adanya media
internet tentunya kita dapat dengan cepat memperoleh informasi, dengan mesin
pencari google kita dapat dengan mudah mendapatkan informasi yang kita
inginkan. Disisi lain ketika kita menampilkan informasi tersebut dengan sedikit
penambahan atau polesan, bukan berarti kita menyalahi sebuah aturan atau
dikatakan tidak kreatif. Konsep postmodern adalah mengikuti percepatan
informasi yang datang kehadapan kita, dan pemikiran postmodern adalah memungut
puing-puing masa lalu dan menampilknnya dalam bentuknya yang baru.
Internet adalah
media yang praktis, kita dapat menggunakannya dimana saja, apalagi sekarang
internet sudah terkoneksi dengan jaringan telepon seluler (HP), semakin
mudahlah kita memperoleh informasi. Mesin pencari informasi semakin banyak dan
semakin praktis dalam pengaplikasiannya. Internet dapat juga dikatakan jendela
dunia tentang infromasi terkini. Kita dapat mengakses informasi kapan saja dan
dimana kita berada, dapat terkoneksi dengan jaringan global tersebut. Akan
menjadi ironi ketika ada sekelompok orang yang mengatakan dengan sinis. Bahwa
memperoleh informasi menggunakan mesin pencari seperti google atau
istilahnya gogling seolah diharamkan(hal ini terjadi di lingkungan
penulis berada, ada sekelompok individu yang masih konservatif). Sebagai bahan
komparasi para pemikir Yunani ketika itu mereka mempelajari dan mencari
informasi(ilmu) dari alam, dan memang kondisi pada saat itu masih pada periode
yang mana teknologi belum semaju sekarang. Akan menjadi naif ketika sekelompok
orang mencari kesalahan seseorang, dengan cara mengatakan bahwa gogling
diharamkan atau tidak kreatif.
Pendapat tersebut
mamang dapat dibenarkan adanya, hal ini karena informasi yang didapatkan dari
internet tekadang tidak valid atau istilahnya hoax. Tetapi tidak semua
informasi dari internet palsu atau psuedo, memang itulah kondisi yang
diakibatkan oleh media dan yang terjadi adalah hiper-realitas media. Maka yang
terjadi adalah ketidak percayaan pada sebuah informasi yang disajikan dihadapan
kita. Informasi kehilangan kredibilitas disebabkan ia dianggap tidak lagi
mengungkapkan kebenaran, tidak lagi merepresentasikan realitas. Angka-angka
statistik, nilai tukar, inflansi, kerusuhan, skandal, angka pemilihan umum,
hasil referendum, polling media- sebagai informasi kini kehilangan
kredibilitas, disebabkan sebagain besar hanya dianggap sebagai topeng-topeng
kesemuan yang tidak menggambarkan realitas sosial sesungguhnya. Mungkin inilah
kenapa ada yang mengatakan bahwa mencari informsi dengan google atau
dapat disebut gogling diragukan atau diharamkan. Maka yang terjadi
adalah banalitas informasi adalah jenis informasi yang disajikan tanpa
interupsi oleh pelbagai media komputer – apakah video, televisi, produk seni,
audio visual, atau internet – adalah informasi remeh-temeh, informasi yang
tidak ada yang diambil hikmah darinya.
Ironisnya
informasi tersebut terus diproduksi dan disajikan kepada konsumen, meskipun
setiap orang mengetahui informasi tersebut tidak berguna, oleh karena tidak
mempunyai kredibilitas. Itulah kondisi media postmodern, bagi yang tidak siap
akan mengalami shock culture dan yang terjadi adalah salah penafsiran
terhadap informasi yang didapatkan. Masalah gogling tersebut tidaklah
menjadi permasalahan yang cukup mengganggu dalam mencari dan mendapatkan
informasi, tetapi yang menjadi masalah adalah subtansi dari informasi yang
perlu diklarifikasi dan teliti lebih dalam. Maka dari itu kita jangan terlalu
cepat menyimpulkan atau menjustifikasi ketika gogling adalah tidak
kreatif atau haram. Dan informasi yang telah di dapat oleh kita, kemudian
direproduksi oleh atau ditampilkan kembali adalah sesuatu yang wajar dalam
rimba postmodern. Itu menandakan sebuah informasi membiak dalam media
kontemporer.
Informasi tidak
hanya berhenti sampai disitu, hal ini karena media internet mempunyai aplikasi
yang dapat menghubungkan dengan portal satu dengan lainnya. Dan menurut Yasraf,
bahwa informasi yang membiak tanpa henti dan tanpa kendali di dalam media telah
menciptakan kondisi fatalitas informasi (fatality of information),
yaitu kecenderungan pembiakan informasi kearah titik ekstrem, yaitu kearah yang
melampaui nilai guna, fungsi, dan maknanya, yang menggiring ke arah bencana (catastrophe),
berupa kehancuran sistem komunikasi (bermakna) sendiri. Itulah sedikit gambaran
yang terjadi dalam media kontemporer internet, dan masyarakat di tuntut bijak
dalam menyikapi dan menghadapi laju teknologi yang begitu cepat. Kejadian
tersebut tidak hanya dalam media informasi, tetapi juga dalam bidang-bidang
lainnya seperti seni.
Dalam dunia seni
ada istilahnya parodi, pastiche, dan kistch, dalam
pemikiran atau ranah pengetahuan ada istilah dekonstruksi, poststruktruralis,
dan intertekstulitas. Kesemuanya itu hadir dalam satu paket yang dinamakan
postmodern, yang mengancurkan batas-batas tradisional yang konservatif. Melalui
media internet dan aplikasi yang ada di dalam jaringan tersebut kita dapat
dengan bebas melakukan apa saja. Yang terjadi adalah hiperealitas media, dan
kita memang harus dituntut siap dalam menghadapinya. Sehingga yang ditimbulkan dari media adalah
bagaimana kita mengoperasikan dan mengolah informasi tersebut. Kembali ke kosep
postmodern, konsep seperti intertekstulitas ataupun bricolage mungkin
akan relevan dengan topik bahasan berikut yaitu re-post.
Sebagaimana telah
dijelaskan di atas bahwa informasi membiak dalam media kontemporer seperti
televisi dan internet. Hal ini dapat dikatakan bahwa informasi tidak berhenti
sampai disitu saja atau stagnan. Informasi akan mencari tempat barunya dengan
tampilan yang sama atau sedikit dengan penambahan. Dan bukan tidak mungkin
dengan penambahan atau perubahan akan terjadi disinformasi. Dalam
istilah sekarang berkembang biaknya informasi tersebut dapat disebut dengan
istilah re-posting atau re-post. Re-post dalam konteks penyebaran
dan berkembangbiaknya informasi, dapat berupa gambar, teks, lagu, video
atau data. Semua itu dapat ditampilkan kembali dalam sebuah tempat barunya,
karena di dunia cyber terdapat ruang-ruang yang lebih bebas. Sebelum
istilah re-post tersebut muncul dan menjadi trend dalam jejaring sosial
seperti facebook atau twiter.
Dalam wacana
postmodern sebenarnya sudah ada istilah intertektualitas. Istilah
intertektualitas (intertuality) pertama kali diperkenalkan oleh Julia
Kristeva, seorang pemikir poststrukturalis Prancis. Dimana pengertian
intertektualitas adalah kesalingbergantungan satu teks dengan teks sebelumnya,
dalam bentuk persilangan berbagai kutipan dan ungkapan ungkapannya, yang satu
sama lain saling mengisi. Sebagaimana yang dikemukakan kristeva sebuah teks
dapat eksis, bila : di dalam ruang teks tersebut, beraneka ragam
ungkapan-ungkapan, yang diambil dari teks-teks lain, silang-menyilang dan
saling menetralisir satu sama lain. Sebagai contoh, sebuah karya tulis dapat
meminjam material dari kisah dongeng, atau seni patung dapat meminjam meterial
pertandaan dari arsitektur, dan sebagainya.
Selain
interktektualitas di atas masih ada konsep pemikiran postmodern lainnya yang
mencoba mendobrak kebekuan pikir, yaitu bricolage. Bricolage, menurut
Levi-Strauss, adalah satu strategi intelektual atau proses berkarya dengan
“...membangun sesuatu dari apa-apa (material) yang ada di tangan.” Material
yang di maksud Levi-Strauss ini dapat berasal dari sisa-sisa material dari
proses membangun sebelumnya. Material tersebut, dalam hal ini, dapat
diinterpretasikan sebagai material dalam pengertian fisik atau material dalam
pengertian konsep, ide atau gaya. Jadi bukan hal yang baru ketika kita menemui
sebuah informasi atau gambar yang di re-post dalam bentuknya yang baru.
Karena dalam wacana kritis postmodern itu semua sudah ada dan berlaku dalam
wacana pemikiran.
Konsep Re-post
atau dapat dikatan juga penggembungan informasi, dikarenkan media komunkasi
tingkat lanjut menggiring ke arah
informasi yang cepat temponya. Menurut Yasraf komunikasi dan informasi
berkembang ke arah kondisi penggembungan (exrescence), yang menciptakan
masyarakat kegemukan (excrescental society) : kegemukan informasi,
komukasi, tontonan, berita, data. Dalam konteks media kontemporer ini, dalam
penggunaannya memang tidak adanya mekanisme kontrol. Sehingga yang tejadi
adalah kebebasan dan banalitas dalam penyampaian informasi dan tontonan. Secara
prinsip tidak ada sebuah institusi pun yang dapat mengendalikan dan mengatur cyberspace,
termasuk institusi negara. Meskipun ada cyber-law, akan tetapi ia tidak
(atau belum) berjalan efektif.
Jadi janganlah
heran atau kaget ketika informasi mengalami penggembungan atau pembiakan, yang
dalam konteks sekarang ini di sebut dengan istilah re-post dalam
jaringan internet. Memang itulah kondisi media postmodern sekarang ini.
Jika masih saja ada sekelompok atau komunitas (yang ada di lingkungan penulis)
masih mengganggap haram atau kurang kreatif. Yang jadi permasahan adalah
bagaimana kita merespon serbuan informasi tersebut dalam bentuk yang baru, dan
bagaimana kita mengiterpretasi makna yang ada dalam sebuah informasi tersebut.
Di dalam wacana kebudayaan global dewasa ini, yang dicirikan oleh sifat
kesalingbergantungan (interdependence) dan kesalingterhubungkan (interconection)
yang sangat tinggi dan yang sangat kompleks, diperlukan sikap-sikap yang lebih
fleksibel, melingkupi, toleran, inklusif, dan holistik dalam melihat order
dan disorder. Kita harus pintar-pintar menyaring informasi yang datang
kepada kita, re-post yang datang dari teman kita tidak ada salahnya
dikaji lebih dalam. Dan bukan berarti re-post tersebut tidak bermakna,
ia hanya bentuk pembiakan informasi yang belum tentu merugikan atau re-post tersebut justru merupakan informasi yang
berguna bagi kita.
Maka dari itu kita tidak lantas menjustifikasi
pelaku re-post atau gogling, yang menjadi permasalahan bukanlah
cara menyebarkan atau mendapatkan informasi tersebut. Yang menjadi masalah
justru isi (content) dari informasi yang ada tersebut, apakah informasi
tersebut bohong atau hoax. Maka dari itu kita sebagai masyarakat
kontemporer harus mempunyai sikap-sikap seperti di atas seperti fleksibel dan
toleran. Akan tetapi, sikap-sikap tersebut harus didukung oleh kemampuan
pengelolaan atau chaos management yang tinggi dan cerdas, sehingga
berbagai efek merusak-nya dapat diminimalisir, sampai pada batas-batas yang
dapat diterima oleh kapasitas persepsi, fisik dan psikis manusia.
Dan terakhir
mudah-mudahan tulisan yang masih jauh dari sempurna ini, dapat menjadikan
wacana baru dan pencerahan bagi kelompok kontradiktif yang ada di lingkungan
penulis, yaitu di kota Bumiayu. Selanjutnya tulisan ini penulis dedikasikan
kepada teman-teman yang selalu membuka pemikiran dan selalu tertantang dengan
hal yang baru serta selalu merindukan diskusi yang bermanfaat.[]
Salam
Budaya!!
Daftar pustaka
·
Matinya Dunia Cyberspace, Astar hadi.
·
Sekitar Manusia, Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia, K.
Bertens dkk.
·
Arus Pemikiran Kontemporer, Donny Gahral Adian.
·
Panorama Filsafat Modern, K. Bertens.
·
Postmodernisme dan Budaya Konsumen, Mike Featherstone.
·
Teori-Teori Modernitas dan Postmodernitas, Bryan Turner.
·
Virtual, Sebuah Pengantar Komprehensif, Robshields.
·
Asal-Usul Postmodernitas, Peryy Anderson.
·
Dunia Yang Dilipat, Yasraf Amir Piliang.
·
Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
Yasraf Amir Piliang.
·
Post-Realitas, Yasraf Amir Piliang.
No comments:
Post a Comment