Sunday, 4 May 2014

Peranan Kritik Terhadap Dunia Seni di Bumiayu...blog baru 2014

Peranan Kritik Terhadap Dunia Seni di Bumiayu

 
PERANAN KRITIK TERHADAP DUNIA SENI DI BUMIAYU
Ketika sebuah karya seni hadir ke hadapan publik, maka harus menerima konsekuensi yang ada berupa kritikan dan saran. Bukan Cuma karya seni saja, semua karya, semua perbuatan, tingkah laku, teks, omongan dan yang lainnya akan menuai pro dan kontra. Pro  dalam bentuk pujian, setuju, idem, penghormatan, pengagungan, pengkultusan, ikonisasi dan  persahabatan. Sedangkan kontra akan dalam bentuk kritik, pembenaran, rekonstruksi, dekontruksi, reformasi, atau bahkan celaan, hinaan, cacian dan makian. Sebenarnya kritik itu memang diperlukan dalam segala disiplin ilmu, tidak hanya kesenian yang membutuhkan kritik. Dalam bahasan berikut ini saya akan mencoba menulis dan sekaligus merespon iklim berkesenian yang ada di Bumiayu. Kenapa saya menulis tentang kritik dalam konteks seni, dikarenakan konsentrasi saya di bidang kesenian. Tetapi disisi lain ada pemicu atau stimulus, dan yang menyebabkan saya mencoba mendalami apa itu kritikan.
Dan dari pemicu tersebut akan saya tuangkan dalam bentuk tulisan, diharapkan nantinya dapat dijadikan bahan diskusi atau renungan kita bersama. Pemicu yang meggelitik seperti apa dan menyebabkan saya menganggkat tema tentang kritik. Kausal tersebut muncul ketika ada pelaku seni di Bumiayu mengutarakan pernyataan, yang kurang lebih seperti ini “ anak-anak ini, baru mau muncul, belum siap untuk di kritik, kritiknya nanti dulu”. Kurang lebih itulah bentuk pernyataan yang muncul, dan menurut saya cukup menggelitik dan perlu untuk didalami. Pada intinya ketika semua bentuk karya atau apa saja yang tampil dan muncul kehadapan publik akan menuai berbagai komentar, tak terkecuali kritik. Sebelum membahas kritik tentang atmosfir berkesenian di Bumaiyu, saya akan mencoba membahas esensi dari kritik itu sendiri.
Esensi Kritik.
Kritik merupakan suatu bentuk pembenaran atau dekontruksi dari seseorang yang merasa peduli terhadap suatu pokok bahasan, dimana tujuan kritik adalah untuk menjadi bahan pertimbangan bagi pelakunya atau penciptanya. Lalu apakah semua individu itu mempunyai kapasitas dalam menilai atau mengkritik suatu bentuk?. Pada intinya semua individu mempunyai kebebesan berpendapat atau berbicara, dan berbicara itu merupakan hak asasi yang sudah dimiliki oleh manusia sejak lahir. Berbicara dalam bentuk kritik merupakan hak setiap individu, dan tentunya harus relevan dalam suatu pokok bahasan, dan tentunya masih dalam batas kewarasan. Sebagaimana yang dinyatakan Roland Barthes, bahwa kita tanpa merasa takut bisa menentang siapa pun untuk mempraktikan kritik yang “polos”, yang bebas dari determinasi sistematis apapun. Tentunya individu yang mengkritik haruslah obyektif dalam melihat pokok permasalahan yang ada, tanpa ada tendensi apa-apa di balik semua itu Ditujukan kepada hasil karya, tata cara, perialaku, sikap, perbuatan, omongan, dan juga pada subyek itu sendiri.
Sebuah kritik pada dasarnya merupakan kritik terhadap subjek, pemikiran, rasio dan kesadaran, atau meniliti pemikiran untuk mensistematisirnya, menganalisa rasio untuk mengkonstruksinya dan merivisi pandangan manusia dengan deskripsi nilai-nilai yang muncul dari kesadaran dirinya dan mampu mengekspresikan dengan subyekstivitas dirinya. Dalam artian sebuah kritik itu merupakan penjelasan tentang subyek yang menngungkapkannya dengan tujuan untuk merekonstruksi sesuatu dalam realitas dunia dan dinamikanya. Dengan demikian kritik merupakan bentuk ungkapan yang dilontarkan oleh individu, dalam rangka merekontruksi sebuah tanda yang ada dalam suatu bentuk yang hadir di dunia. Tanda tersebut diteliti, direvisi, dikontruksi dalam sudut pandang sang pengamat.
Memang terdapat kecenderungan dalam diri manusia itu sendiri, ketika seseorang berkarya atau berekspresi individu tersebut merasa bahwa itu sudah benar. Sesungguhnya dalam dunia ini tidaklah ada kebenaran absolut dan manusia adalah tempatnya salah dan kekurangan. Ketika sebuah karya seni atau teks itu diciptakan oleh sang pengarang maka yang ada adalah sebuah ketidaksempurnaan dari suatu karya, dalam konteks ketuhanan. Tidak ada teks atau penafsiran yang lebih utama dan lebih benar daripada yang lain, sehingga tidak mungkin suatu aliran memonopoli kebenaran tanpa yang lain serta tidak mungkin sebuah school of thought mengganggap dirinya sebagai satu-satunya pembentuk sumber ilmu pengetahuan. Jadi tidak patutlah meyombongkan diri dalam sebuah penciptaan, maka dari itu dari sisi lain muncul subjek yang berupaya mengkontruksi tanda yang telah diciptakan author. Terdapat kecenderungan pula, dalam sebuah penciptaan sering terdapat kelalaian atau ketidaksadaran dalam menyusun atau mengkomposisikan sesuatu. Maka dari situ lah kritik hadir menjalankan tugasnya, merevisi, meniliti, mengkuliti, mengkaji, mengkritisi apa yang tidak sesuai secara obyektif.
Baik dari author atau kritikus dalam menilai sesuatu tidaklah mendekati kebenaran yang absolut, semuanya itu relatif. Bentuk kritikan yang dilontarkan tentunya bukanlah bentuk kebenaran yang obsolut, kritikan merupakan bentuk penyempurnaan menuju ketidaksempuraan. Secara substansial kritik itu sendiri dapat dibangkitkan oleh individu sendiri dalam rangka mengintrospeksi diri sendiri menuju kebaikan yang lebih dan pemahaman yang mendekati sempurna. Semua individu dapat menjadi kritikus bagi dirinya sendiri, tanpa menunggu kritikan dari subyek lain. Kita dapat melakukannya dengan melakukan kritik dan instropeksi terhadap diri kita sendiri. Keduanya tidak akan berarti apa-apa kecuali kita bergaul dengan subyek kita dan mengekspresikannya kepada alam tanpa memperdulikan segala kelemahan dan kegagalan kita.
Jadi secara sadar kita harus mengetahui bahwa kita memang mempunyai kelemahan dan kegagalan dalam kehidupan kita. Tetapi kelemahan, kegagalan, kesalahan, ketidaktahuan menjadikan kita berpikir dan mengintrospeksi dan sekaligus mengkritik subyek dan juga orang lain. Idealnya sebelum mengkritik subyek lain hendaknya kita memamahami kapasitas diri kita sendiri. Pantas tidakkah kita melontarkan sebuah krtitikan, tetapi idealnya sebuah kritikan memang dapat dilontarkan oleh siapa saja dalam batas kewarasan. Jadi suatu bentuk utopia, kelamahan, romantisme yang dimiliki oleh sebagian individu merupakan bentuk pelemahan dari individu itu sendiri. Individu yang mencipta selalu diliputi dengan kebimbangan dan keraguan atau bahkan ketidaksadaran. Ketika suatu karya itu ditampilakan kehadapan publik, maka kritik akan mencoba menilisik masuk menuju ruang terdalam.
Kapasitas kritik adalah sebuah penggalian, penggungkapan, penelanjangan dan pembukaan. Ia tidak menunjukan kesia-siaan dan pembakaran. Ia adalah pengungkapan yang bertujuan untuk merekonstruksi dan reproduksi. Ia merupakan suatu penjelasan yang untuk membebaskan subyek dari kelemahannya dan menjadikannya mampu memberikan pengaruhnya pada siklus kehidupan dan pemikiran. Sedangkan kelemahan adalah ketiadaan kekuatan untuk mengatasi segala kesulitan atau tuntutan yang cenderung membawanya ke dalam situasi kehidupan yang membatasi segala dinamikanya. Sumber kelemahan itu berasal dari nilai-nilai lama(romantisme) yang membuat hubungan seseorang dengan subyektivitasnya, orang lain, realitas dan alam khayal, serta pengetahuan dan otoritas menjadi negatif dan tidak produktif, bahkan menyedihkan dan menghancurkan.
Nah, disinilah krtik menjalankan peranannya, dari sinilah harus ada pembongkaran, pembersihan segala hal yang menjadi penghalang, penghapusan semua dugaan, prasangka dan keyakinan dogmatis, penjelasan pengetahuan yang masih samar, serta pembebasan dari otoritas tertentu yang membatasinya. Kritik merupakan usaha untuk menyingkapkan segala kekuatan dan potensi yang tersemnbunyi dalam setiap sesuatu, dengan cara membuka segala sesuatu yang tertutup, mengungkap sesuatu yang tersembunyi, merubah sesuatu yang tetap, mengeksplorasi sesuatu yang samar, mengganti teologi menjadi sejarah, metafisika menjadi fisika, irasional menjadi rasional. Mengungkapkan sistem makna dan menguraikan simbol-simbol inti, membebaskan diri dari otoritas tradisi teks dan teks serta menghidupkan pengetahuan yang telah mati. Itulah substansi dari sebuah kritikan yang dalam implementasi pada kehidupan manusia.
Hasil cipta karya manusia apa intinya memang tidaklah sempurna, semuanya memerlukan pembenahan. Maka dari itu kritik hadir dalam kehidupan, dalam komunitas, dalam atmosfir kesenian dan lainnya. Singkatnya  arah tujuan kritik menjadikan pikiran kita bangkit dari kegegelapan tidurnya dan subyektifitasnya sendiri, membebaskan diri dari kelemahan dan keluar dari keterbatasanya. Jadi, memang pada dasarnya sebuah sikap atau wujud penciptaan tak luput dari yang namanya ketidaksempuraan. Maka dari itu kita memanglah masih jauh dari sempurna, begitu juga hasil karya kita masih jauh dari sempurna. Maka jauhkan sifat sombong, yang menganggap bahwa kita ini sudah benar sudah sempurna, semua itu membutuhkan pembenahan yang terus menerus. Tak terkecuali dalam penciptaan sebuah karya seni. Lihatlah para maestro seni kita, mereka berkarya sampai tua bahkan sampai akhir hanyatnya, mereka merasa bahwa karya seni mereka masih jauh dari sempurna dan perlu disempurnakan oleh generasi selanjutnya.
Jadi sebagai insan seni hendaknya kita menyadari bahwa, manusia itu masih jauh dari kebenaran dan kesempurnaa. Jadi tidak lah pantas menyombongkan diri dihadapan sesama manusia, kita harus menyadari kapasitas kita masing-masing. Untuk itu, orang-orang yang menyatakan bahwa kebenaran bersifat tetap dan tidak dapat berubah serta mengaku-ngaku telah memliki kuncinya, maka sebenarnya dia termasuk orang yang telah dibohongi oleh banyak kebenaran dan dibenturkan dengan multi-realitas. Maka dari itu tidak ada kebenaran atau kesempurnaan yang absolut, maka dari situlah lahir kritik yang akan mejadikan dinamika di suatu komunitas. Akan menjadi stagnan, statis, dan kemandekan dalam sebuah komunitas, jika tidak adanya sebuah kritik atau masukan. Itulah bahasan tentang esensi sebuah kritikan yang memang diperlukan dalam sebuah komunitas, iklim,kelompok seni, atmosfir, apa saja, tak terkecuali pada forum.... yang ada di Bumiayu.
Kritik Terhadap Atmosfir Seni di Bumiayu.
Di atas telah dijelaskan panjang lebar mengenai substansi dari sebuah kritik, sekarang tinggal implementasi dalam atmosfir seni di Bumiayu. Kenapa yang dibahas atmosfir seni di Bumiayu, karena memang itulah pokok bahasan yang sesungguhnya. Dimana kritik itu memang harus hadir dan dijalankan di atmosfir seni di Bumiayu. Bumiayu sebuah kota kecil yang memang mempunyai atmosfir seni yang dapat dikatakan cukup dinamis dan bergairah, dapat juga  dikatakan “Demeyar”. Memang itulah salah satu kecenderungan sesuatu di Bumiayu, ramainya hanya awal-awalnya saja. Mereka mencoba membuktikan eksistensi individu atau kelompoknya, dan kadang eksistensi tersebut menuju ke titik arogansi. Begitu juga dalam dunia seni yang ada di Bumiayu, eksistensi dari suatu kelompok terkadang terlalu asik dalam ekstase popularitas. Atau bahkan individu atau komunal mengalami sebuah titik yang dapat dikatakan sebuah kesombongan dan merasa dirinya paling benar.
Dunia seni yang ada di Bumiayu memang dirasa kurang subur dalam menerima sebuah kritik dari sesorang. Sebenarnya kritik di atmosfir seni itu memang ada, hanya saja masih ada bebarapa pihak yang belum menyadari substansi dari kritik itu sendiri. Dalam artian ada sebuah pemahaman yang beranggapan bahwa, mereka yang mengkritik jika bukan dari lingkungan atau golongan(balane dewek) dirasa sok tahu atau hanya omong kosong. Itulah kecenderungan yang subyektif dari beberapa individu, yang masih menganggap bahwa ada orang asing yang akan mengusik kandang sebuah kelompok seni. Sungguh situasi yang ironis, ketika di belahan wilayah lain membutuhkan kritik dari sesorang, jusrtu keadaan di Bumiayu sebaliknya, menolak kritik atau saran dari seseorang yang di anggap sebagai outsider. Itu adalah pendapat subyektif saya, bukan kenapa-kenapa memang keadaan seperti itu pernah terjadi di lingkungan seni di Bumiayu.
Sebenarnya kritik mengkritik itu tidak melihat dari mana orang itu berasal semua bisa mengkritik sebagaimana yang di nyatakan Roland Barthes. Kita semua dapat mengkritik secara “polos”, sesuai dengan pandangan kita dalam menyikapi sesuatu. Terlalu rapatnya pintu untuk sebuah kritikan dalam beberapa komunitas di Bumiayu, menyebabkan iklim seni di Bumiayu menjadi stagnan. Kita lihat saja contoh konkritnya, misalkan dalam sebuah acara seni saya ambil contoh event Bumiayu Fair yang biasa menampilkan pementasan seni pertunjukan tiap malamnya. Kita amati saja dari tahun ke tahun dalam panggung utama apa yang sering ditampilkan pada tiap malamnya. Pertunjukan apa yang sering paling tampil mengisi acara tersebut, mungkin kita sepakat menjawab band dan dangdutan. Pertunjukan lain tetap ada hanya mungkin dalam porsi yang sedikit.
Lalu kesimpulan seperti apa, yang didapat dari mengamati sebuah pertunjukan tersebut?. Mungkin tidak banyak orang yang mengkritisi perunjukan setiap malamnya di Bumiayu Fair. Pertunjukan dari tahun ke tahun apakah cukup ada peningkatan, perubahan, dinamika, atau hanya biasa-biasa saja. Tetap ada kekurangan disana-sini tetapi dalam setiap tahunnya event pertunjukan tersebut saya rasa tidak ada perubahan atau penigkatan yang cukup signifikan. Memang banyak faktor yang mempengaruhi kenapa pertunjukan seperti itu terkadang tidak optimal. Salah satu faktornya adalah mungkin pendanaan, sumber daya manusianya, dan masalah lainnya. Permasalahan seperti sound system, tata lampu, pengisi acara sampai gaya penggung pengisi acaranya. Sound system dalam panggung seni di Bumiayu Fair memang masih jauh dari cukup, pengisi acara yang itu-itu saja tidak ada yang lain. Gaya panggung pengisi acara yang biasa-biasa saja yang tidak balan dengan musik yang dibawakannya.
Mungkin itu sedikit pengamatan saya di panggung seni Bumiayu Fair, masih banyak permasalan lain di dunia kesenian di Bumiayu tetapi disini saya mengambil contoh tersebut. Selanjutnya saya tidak akan membahas secara mendalam masalah panggung seni di Bumiayu Fair. Memang idealnya kritik diperlukan bukan hanya dalam acara tersebut, dalam segala sesuatu yang telah muncul di hadapan publik. Dalam pengamatan saya atmosfir seni di Bumiayu ada semacam privilise, yang mengakibatkan tertutupnya hak individu lain dalam mengungkapkan pendapat atau kritiknya. Selain itu menjadi monoton ketika yang muncul atau tampil hanya orang-orang itu saja, acaranya hanya seperti itu saja, penampilannya cuma biasa saja. Seperti yang saya tuliskan pada awal tulisan ini, yaitu bentuk pernyataan dari seseorang yang mengungkapkan “jangan dulu mengkritik”. Privilise yang diberikan kepada individu dalam suatu komunitas tersebut, walaupun itu secara sadar atau tidak sadar, saya juga kurang mengetahui. Sehingga yang terjadi adalah mandeknya kritik atau mediator teknis dalam konstruksi dunia seni di Bumiayu.
Dengan tidak adanya salah satu konstruksi seni tersebut maka yang terjadi adalah sebuah ketimpangan dan arogansi. Mereka yang menjadi author merasa bahwa karyanya sudah benar atau bagus, penampilanya sudah pantas, gayanya sudah luar biasa secara subyektif. Padahal dalam dunia kesenian adalah unity  yang saling melengkapi dan mengisi, sang pencipta ingin karyanya di apresiasi dan sang audiens ingin memberikan komentar terhadap karya yang dilihatnya. Semua menjadi satu kesatuan yang nantinya akan menjadi balan dan berjalan harmonis. Dunia kritik mengkrtik bukanlah hal yang menjelek-jelekan, memojokan, menggurui atau menghancurkan. Jadi kita harus bisa mengklarifikasinya dan menyikapinya dengan tujuan untuk menjadikannya mejadi lebih baik. Yang merasa sebagai kreator akan mendapat masukan dari audiens, dan penikmat akan belajar mengkritisi karya seninya. Sehingga diharapkan akan terjadi kesinambungan, kreator akan lebih percaya dalam menampilkan karyanya dan sebaliknya apresiator akan menjadi pengamat yang kritis dan cerdas.
Memang kritik itu tidak hanya ditujukan buat orang lain saja, kita sendiri dapat mengkritisi subyektivitas kita. Jadi tidak ada salahnya melakukan kritik mengktitik, jika masih kontekstual dan sesuai dengan porsinya. Semua orang mempunyai hak untuk mengungkapkan pendapatnya  kepada siapa saja dan tentunya di imbangi dengan sebuah tanggung jawab. Jika memang belum ada kesiapan dalam menghadapi sebuah kritik memang itu kembali kepada individu masing-masing atau suatu kelompok. Akan  menunggu kritik jika sudah mencapai popularitas atau dikritik ketika memang sudah saatnya dan membutuhkan saran dari seseorang. Tidak perlu menunggu, semua kembali kepada individu masing-masing, yang secara sadar memang harus tahu substansi dari kritik. Ketidaksiapan kita dalam menerima kritik memang menjadi kecenderungan, yang membedakan kita dengan bangsa Barat. Sebagai penutup akan saya kutip pernyataan dari pemikir kebangsaan Libanon Dr. Ali Harb “ Inilah sebenarnya titik perbedaan antara kita dengan Barat. Mereka mengkritik subyektivitas mereka sendiri, sedangkan kita tidak. Mereka menjelaskan batasan-batasannya dan menguraikan segi-segi kelemahannya sendiri di saat kita menutup-nutupi kekalahan kita dan menyembunyikan realitas kita “.
Referensi :
·      Membedah Mitos-mitos Budaya Massa, Roland Barthes.
·      Relativitas Kebenaran, Dr. Ali Harb.
·      Posmodernisme dan Budaya Pop, Angela Mc Robbie.
·      Tamasya Dalam Hiperealitas, Umberto Eco.

No comments:

Post a Comment

Jejak Hindu di Bumiayu

Menelusuri Jejak Hindu di Bumiayu Bumiayu merupakan kota kecamatan yang terletak di selatan Kabupaten Brebes. Bumiayu dalam perkemba...