Peranan Kritik Terhadap Dunia Seni di Bumiayu
PERANAN KRITIK TERHADAP DUNIA SENI DI BUMIAYU
Ketika sebuah karya seni hadir ke hadapan
publik, maka harus menerima konsekuensi yang ada berupa kritikan dan saran.
Bukan Cuma karya seni saja, semua karya, semua perbuatan, tingkah laku, teks,
omongan dan yang lainnya akan menuai pro dan kontra. Pro dalam bentuk pujian, setuju, idem,
penghormatan, pengagungan, pengkultusan, ikonisasi dan persahabatan. Sedangkan kontra akan dalam
bentuk kritik, pembenaran, rekonstruksi, dekontruksi, reformasi, atau bahkan
celaan, hinaan, cacian dan makian. Sebenarnya kritik itu memang diperlukan
dalam segala disiplin ilmu, tidak hanya kesenian yang membutuhkan kritik. Dalam
bahasan berikut ini saya akan mencoba menulis dan sekaligus merespon iklim
berkesenian yang ada di Bumiayu. Kenapa saya menulis tentang kritik dalam
konteks seni, dikarenakan konsentrasi saya di bidang kesenian. Tetapi disisi
lain ada pemicu atau stimulus, dan yang menyebabkan saya mencoba mendalami apa
itu kritikan.
Dan dari pemicu tersebut akan saya tuangkan
dalam bentuk tulisan, diharapkan nantinya dapat dijadikan bahan diskusi atau
renungan kita bersama. Pemicu yang meggelitik seperti apa dan menyebabkan saya
menganggkat tema tentang kritik. Kausal tersebut muncul ketika ada pelaku seni
di Bumiayu mengutarakan pernyataan, yang kurang lebih seperti ini “ anak-anak
ini, baru mau muncul, belum siap untuk di kritik, kritiknya nanti dulu”. Kurang
lebih itulah bentuk pernyataan yang muncul, dan menurut saya cukup menggelitik
dan perlu untuk didalami. Pada intinya ketika semua bentuk karya atau apa saja
yang tampil dan muncul kehadapan publik akan menuai berbagai komentar, tak
terkecuali kritik. Sebelum membahas kritik tentang atmosfir berkesenian di
Bumaiyu, saya akan mencoba membahas esensi dari kritik itu sendiri.
Esensi Kritik.
Kritik merupakan suatu bentuk pembenaran atau
dekontruksi dari seseorang yang merasa peduli terhadap suatu pokok bahasan,
dimana tujuan kritik adalah untuk menjadi bahan pertimbangan bagi pelakunya
atau penciptanya. Lalu apakah semua individu itu mempunyai kapasitas dalam
menilai atau mengkritik suatu bentuk?. Pada intinya semua individu mempunyai
kebebesan berpendapat atau berbicara, dan berbicara itu merupakan hak asasi
yang sudah dimiliki oleh manusia sejak lahir. Berbicara dalam bentuk kritik
merupakan hak setiap individu, dan tentunya harus relevan dalam suatu pokok
bahasan, dan tentunya masih dalam batas kewarasan. Sebagaimana yang dinyatakan
Roland Barthes, bahwa kita tanpa merasa takut bisa menentang siapa pun untuk
mempraktikan kritik yang “polos”, yang bebas dari determinasi sistematis
apapun. Tentunya individu yang mengkritik haruslah obyektif dalam melihat pokok
permasalahan yang ada, tanpa ada tendensi apa-apa di balik semua itu Ditujukan
kepada hasil karya, tata cara, perialaku, sikap, perbuatan, omongan, dan juga
pada subyek itu sendiri.
Sebuah kritik pada dasarnya merupakan kritik
terhadap subjek, pemikiran, rasio dan kesadaran, atau meniliti pemikiran untuk
mensistematisirnya, menganalisa rasio untuk mengkonstruksinya dan merivisi
pandangan manusia dengan deskripsi nilai-nilai yang muncul dari kesadaran
dirinya dan mampu mengekspresikan dengan subyekstivitas dirinya. Dalam artian
sebuah kritik itu merupakan penjelasan tentang subyek yang menngungkapkannya
dengan tujuan untuk merekonstruksi sesuatu dalam realitas dunia dan
dinamikanya. Dengan demikian kritik merupakan bentuk ungkapan yang dilontarkan
oleh individu, dalam rangka merekontruksi sebuah tanda yang ada dalam suatu
bentuk yang hadir di dunia. Tanda tersebut diteliti, direvisi, dikontruksi
dalam sudut pandang sang pengamat.
Memang terdapat kecenderungan dalam diri
manusia itu sendiri, ketika seseorang berkarya atau berekspresi individu
tersebut merasa bahwa itu sudah benar. Sesungguhnya dalam dunia ini tidaklah
ada kebenaran absolut dan manusia adalah tempatnya salah dan kekurangan. Ketika
sebuah karya seni atau teks itu diciptakan oleh sang pengarang maka yang ada
adalah sebuah ketidaksempurnaan dari suatu karya, dalam konteks ketuhanan.
Tidak ada teks atau penafsiran yang lebih utama dan lebih benar daripada yang
lain, sehingga tidak mungkin suatu aliran memonopoli kebenaran tanpa yang lain
serta tidak mungkin sebuah school of thought mengganggap dirinya sebagai
satu-satunya pembentuk sumber ilmu pengetahuan. Jadi tidak patutlah
meyombongkan diri dalam sebuah penciptaan, maka dari itu dari sisi lain muncul
subjek yang berupaya mengkontruksi tanda yang telah diciptakan author.
Terdapat kecenderungan pula, dalam sebuah penciptaan sering terdapat kelalaian
atau ketidaksadaran dalam menyusun atau mengkomposisikan sesuatu. Maka dari
situ lah kritik hadir menjalankan tugasnya, merevisi, meniliti, mengkuliti,
mengkaji, mengkritisi apa yang tidak sesuai secara obyektif.
Baik dari author atau kritikus dalam
menilai sesuatu tidaklah mendekati kebenaran yang absolut, semuanya itu
relatif. Bentuk kritikan yang dilontarkan tentunya bukanlah bentuk kebenaran
yang obsolut, kritikan merupakan bentuk penyempurnaan menuju ketidaksempuraan.
Secara substansial kritik itu sendiri dapat dibangkitkan oleh individu sendiri
dalam rangka mengintrospeksi diri sendiri menuju kebaikan yang lebih dan
pemahaman yang mendekati sempurna. Semua individu dapat menjadi kritikus bagi
dirinya sendiri, tanpa menunggu kritikan dari subyek lain. Kita dapat
melakukannya dengan melakukan kritik dan instropeksi terhadap diri kita
sendiri. Keduanya tidak akan berarti apa-apa kecuali kita bergaul dengan subyek
kita dan mengekspresikannya kepada alam tanpa memperdulikan segala kelemahan
dan kegagalan kita.
Jadi secara sadar kita harus mengetahui bahwa
kita memang mempunyai kelemahan dan kegagalan dalam kehidupan kita. Tetapi
kelemahan, kegagalan, kesalahan, ketidaktahuan menjadikan kita berpikir dan
mengintrospeksi dan sekaligus mengkritik subyek dan juga orang lain. Idealnya
sebelum mengkritik subyek lain hendaknya kita memamahami kapasitas diri kita
sendiri. Pantas tidakkah kita melontarkan sebuah krtitikan, tetapi idealnya
sebuah kritikan memang dapat dilontarkan oleh siapa saja dalam batas kewarasan.
Jadi suatu bentuk utopia, kelamahan, romantisme yang dimiliki oleh sebagian
individu merupakan bentuk pelemahan dari individu itu sendiri. Individu yang
mencipta selalu diliputi dengan kebimbangan dan keraguan atau bahkan
ketidaksadaran. Ketika suatu karya itu ditampilakan kehadapan publik, maka
kritik akan mencoba menilisik masuk menuju ruang terdalam.
Kapasitas kritik adalah sebuah penggalian,
penggungkapan, penelanjangan dan pembukaan. Ia tidak menunjukan kesia-siaan dan
pembakaran. Ia adalah pengungkapan yang bertujuan untuk merekonstruksi dan
reproduksi. Ia merupakan suatu penjelasan yang untuk membebaskan subyek dari
kelemahannya dan menjadikannya mampu memberikan pengaruhnya pada siklus
kehidupan dan pemikiran. Sedangkan kelemahan adalah ketiadaan kekuatan untuk
mengatasi segala kesulitan atau tuntutan yang cenderung membawanya ke dalam
situasi kehidupan yang membatasi segala dinamikanya. Sumber kelemahan itu
berasal dari nilai-nilai lama(romantisme) yang membuat hubungan seseorang
dengan subyektivitasnya, orang lain, realitas dan alam khayal, serta
pengetahuan dan otoritas menjadi negatif dan tidak produktif, bahkan
menyedihkan dan menghancurkan.
Nah, disinilah krtik menjalankan peranannya,
dari sinilah harus ada pembongkaran, pembersihan segala hal yang menjadi
penghalang, penghapusan semua dugaan, prasangka dan keyakinan dogmatis,
penjelasan pengetahuan yang masih samar, serta pembebasan dari otoritas
tertentu yang membatasinya. Kritik merupakan usaha untuk menyingkapkan segala
kekuatan dan potensi yang tersemnbunyi dalam setiap sesuatu, dengan cara
membuka segala sesuatu yang tertutup, mengungkap sesuatu yang tersembunyi,
merubah sesuatu yang tetap, mengeksplorasi sesuatu yang samar, mengganti
teologi menjadi sejarah, metafisika menjadi fisika, irasional menjadi rasional.
Mengungkapkan sistem makna dan menguraikan simbol-simbol inti, membebaskan diri
dari otoritas tradisi teks dan teks serta menghidupkan pengetahuan yang telah
mati. Itulah substansi dari sebuah kritikan yang dalam implementasi pada
kehidupan manusia.
Hasil cipta karya manusia apa intinya memang
tidaklah sempurna, semuanya memerlukan pembenahan. Maka dari itu kritik hadir
dalam kehidupan, dalam komunitas, dalam atmosfir kesenian dan lainnya.
Singkatnya arah tujuan kritik menjadikan
pikiran kita bangkit dari kegegelapan tidurnya dan subyektifitasnya sendiri,
membebaskan diri dari kelemahan dan keluar dari keterbatasanya. Jadi, memang
pada dasarnya sebuah sikap atau wujud penciptaan tak luput dari yang namanya
ketidaksempuraan. Maka dari itu kita memanglah masih jauh dari sempurna, begitu
juga hasil karya kita masih jauh dari sempurna. Maka jauhkan sifat sombong,
yang menganggap bahwa kita ini sudah benar sudah sempurna, semua itu
membutuhkan pembenahan yang terus menerus. Tak terkecuali dalam penciptaan
sebuah karya seni. Lihatlah para maestro seni kita, mereka berkarya sampai tua
bahkan sampai akhir hanyatnya, mereka merasa bahwa karya seni mereka masih jauh
dari sempurna dan perlu disempurnakan oleh generasi selanjutnya.
Jadi sebagai insan seni hendaknya kita
menyadari bahwa, manusia itu masih jauh dari kebenaran dan kesempurnaa. Jadi
tidak lah pantas menyombongkan diri dihadapan sesama manusia, kita harus menyadari
kapasitas kita masing-masing. Untuk itu, orang-orang yang menyatakan bahwa
kebenaran bersifat tetap dan tidak dapat berubah serta mengaku-ngaku telah
memliki kuncinya, maka sebenarnya dia termasuk orang yang telah dibohongi oleh
banyak kebenaran dan dibenturkan dengan multi-realitas. Maka dari itu tidak ada
kebenaran atau kesempurnaan yang absolut, maka dari situlah lahir kritik yang
akan mejadikan dinamika di suatu komunitas. Akan menjadi stagnan, statis, dan
kemandekan dalam sebuah komunitas, jika tidak adanya sebuah kritik atau
masukan. Itulah bahasan tentang esensi sebuah kritikan yang memang diperlukan
dalam sebuah komunitas, iklim,kelompok seni, atmosfir, apa saja, tak terkecuali
pada forum.... yang ada di Bumiayu.
Kritik Terhadap Atmosfir Seni di Bumiayu.
Di atas telah dijelaskan panjang lebar
mengenai substansi dari sebuah kritik, sekarang tinggal implementasi dalam
atmosfir seni di Bumiayu. Kenapa yang dibahas atmosfir seni di Bumiayu, karena
memang itulah pokok bahasan yang sesungguhnya. Dimana kritik itu memang harus
hadir dan dijalankan di atmosfir seni di Bumiayu. Bumiayu sebuah kota kecil
yang memang mempunyai atmosfir seni yang dapat dikatakan cukup dinamis dan
bergairah, dapat juga dikatakan “Demeyar”.
Memang itulah salah satu kecenderungan sesuatu di Bumiayu, ramainya hanya
awal-awalnya saja. Mereka mencoba membuktikan eksistensi individu atau
kelompoknya, dan kadang eksistensi tersebut menuju ke titik arogansi. Begitu
juga dalam dunia seni yang ada di Bumiayu, eksistensi dari suatu kelompok
terkadang terlalu asik dalam ekstase popularitas. Atau bahkan individu atau
komunal mengalami sebuah titik yang dapat dikatakan sebuah kesombongan dan
merasa dirinya paling benar.
Dunia seni yang ada di Bumiayu memang dirasa
kurang subur dalam menerima sebuah kritik dari sesorang. Sebenarnya kritik di
atmosfir seni itu memang ada, hanya saja masih ada bebarapa pihak yang belum
menyadari substansi dari kritik itu sendiri. Dalam artian ada sebuah pemahaman
yang beranggapan bahwa, mereka yang mengkritik jika bukan dari lingkungan atau
golongan(balane dewek) dirasa sok tahu atau hanya omong kosong. Itulah
kecenderungan yang subyektif dari beberapa individu, yang masih menganggap
bahwa ada orang asing yang akan mengusik kandang sebuah kelompok seni. Sungguh
situasi yang ironis, ketika di belahan wilayah lain membutuhkan kritik dari
sesorang, jusrtu keadaan di Bumiayu sebaliknya, menolak kritik atau saran dari
seseorang yang di anggap sebagai outsider. Itu adalah pendapat
subyektif saya, bukan kenapa-kenapa memang keadaan seperti itu pernah terjadi
di lingkungan seni di Bumiayu.
Sebenarnya kritik mengkritik itu tidak melihat
dari mana orang itu berasal semua bisa mengkritik sebagaimana yang di nyatakan
Roland Barthes. Kita semua dapat mengkritik secara “polos”, sesuai dengan
pandangan kita dalam menyikapi sesuatu. Terlalu rapatnya pintu untuk sebuah
kritikan dalam beberapa komunitas di Bumiayu, menyebabkan iklim seni di Bumiayu
menjadi stagnan. Kita lihat saja contoh konkritnya, misalkan dalam sebuah acara
seni saya ambil contoh event Bumiayu Fair yang biasa menampilkan pementasan
seni pertunjukan tiap malamnya. Kita amati saja dari tahun ke tahun dalam
panggung utama apa yang sering ditampilkan pada tiap malamnya. Pertunjukan apa
yang sering paling tampil mengisi acara tersebut, mungkin kita sepakat menjawab
band dan dangdutan. Pertunjukan lain tetap ada hanya mungkin dalam porsi yang
sedikit.
Lalu kesimpulan seperti apa, yang didapat dari
mengamati sebuah pertunjukan tersebut?. Mungkin tidak banyak orang yang
mengkritisi perunjukan setiap malamnya di Bumiayu Fair. Pertunjukan dari tahun
ke tahun apakah cukup ada peningkatan, perubahan, dinamika, atau hanya
biasa-biasa saja. Tetap ada kekurangan disana-sini tetapi dalam setiap tahunnya
event pertunjukan tersebut saya rasa tidak ada perubahan atau penigkatan yang
cukup signifikan. Memang banyak faktor yang mempengaruhi kenapa pertunjukan
seperti itu terkadang tidak optimal. Salah satu faktornya adalah mungkin
pendanaan, sumber daya manusianya, dan masalah lainnya. Permasalahan seperti
sound system, tata lampu, pengisi acara sampai gaya penggung pengisi acaranya.
Sound system dalam panggung seni di Bumiayu Fair memang masih jauh dari cukup,
pengisi acara yang itu-itu saja tidak ada yang lain. Gaya panggung pengisi
acara yang biasa-biasa saja yang tidak balan dengan musik yang dibawakannya.
Mungkin itu sedikit pengamatan saya di
panggung seni Bumiayu Fair, masih banyak permasalan lain di dunia kesenian di
Bumiayu tetapi disini saya mengambil contoh tersebut. Selanjutnya saya tidak
akan membahas secara mendalam masalah panggung seni di Bumiayu Fair. Memang
idealnya kritik diperlukan bukan hanya dalam acara tersebut, dalam segala
sesuatu yang telah muncul di hadapan publik. Dalam pengamatan saya atmosfir
seni di Bumiayu ada semacam privilise, yang mengakibatkan tertutupnya hak
individu lain dalam mengungkapkan pendapat atau kritiknya. Selain itu menjadi
monoton ketika yang muncul atau tampil hanya orang-orang itu saja, acaranya
hanya seperti itu saja, penampilannya cuma biasa saja. Seperti yang saya
tuliskan pada awal tulisan ini, yaitu bentuk pernyataan dari seseorang yang
mengungkapkan “jangan dulu mengkritik”. Privilise yang diberikan kepada
individu dalam suatu komunitas tersebut, walaupun itu secara sadar atau tidak
sadar, saya juga kurang mengetahui. Sehingga yang terjadi adalah mandeknya
kritik atau mediator teknis dalam konstruksi dunia seni di Bumiayu.
Dengan tidak adanya salah satu konstruksi seni
tersebut maka yang terjadi adalah sebuah ketimpangan dan arogansi. Mereka yang
menjadi author merasa bahwa karyanya sudah benar atau bagus,
penampilanya sudah pantas, gayanya sudah luar biasa secara subyektif. Padahal
dalam dunia kesenian adalah unity yang saling melengkapi dan mengisi, sang
pencipta ingin karyanya di apresiasi dan sang audiens ingin memberikan komentar
terhadap karya yang dilihatnya. Semua menjadi satu kesatuan yang nantinya akan
menjadi balan dan berjalan harmonis. Dunia kritik mengkrtik bukanlah hal yang
menjelek-jelekan, memojokan, menggurui atau menghancurkan. Jadi kita harus bisa
mengklarifikasinya dan menyikapinya dengan tujuan untuk menjadikannya mejadi
lebih baik. Yang merasa sebagai kreator akan mendapat masukan dari audiens, dan
penikmat akan belajar mengkritisi karya seninya. Sehingga diharapkan akan
terjadi kesinambungan, kreator akan lebih percaya dalam menampilkan karyanya
dan sebaliknya apresiator akan menjadi pengamat yang kritis dan cerdas.
Memang kritik itu tidak hanya ditujukan buat
orang lain saja, kita sendiri dapat mengkritisi subyektivitas kita. Jadi tidak
ada salahnya melakukan kritik mengktitik, jika masih kontekstual dan sesuai
dengan porsinya. Semua orang mempunyai hak untuk mengungkapkan pendapatnya kepada siapa saja dan tentunya di imbangi
dengan sebuah tanggung jawab. Jika memang belum ada kesiapan dalam menghadapi
sebuah kritik memang itu kembali kepada individu masing-masing atau suatu
kelompok. Akan menunggu kritik jika
sudah mencapai popularitas atau dikritik ketika memang sudah saatnya dan
membutuhkan saran dari seseorang. Tidak perlu menunggu, semua kembali kepada
individu masing-masing, yang secara sadar memang harus tahu substansi dari
kritik. Ketidaksiapan kita dalam menerima kritik memang menjadi kecenderungan,
yang membedakan kita dengan bangsa Barat. Sebagai penutup akan saya kutip
pernyataan dari pemikir kebangsaan Libanon Dr. Ali Harb “ Inilah sebenarnya
titik perbedaan antara kita dengan Barat. Mereka mengkritik subyektivitas
mereka sendiri, sedangkan kita tidak. Mereka menjelaskan batasan-batasannya dan
menguraikan segi-segi kelemahannya sendiri di saat kita menutup-nutupi
kekalahan kita dan menyembunyikan realitas kita “.
Referensi :
· Membedah Mitos-mitos Budaya Massa, Roland
Barthes.
· Relativitas Kebenaran, Dr. Ali Harb.
· Posmodernisme dan Budaya Pop, Angela Mc
Robbie.
· Tamasya Dalam Hiperealitas, Umberto Eco.
No comments:
Post a Comment