Wednesday, 30 April 2014
Memahami seni rupa anak....blog baru 2014
Memahami Seni Rupa Anak
Memahami Seni Rupa Anak
Salah
satu potensi dasar pada diri anak yang perlu dikembangkan sejak dini adalah potensi
kreativitas. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengembangkan kreativitas anak
antara lain melalui kegiatan/pengajararan seni rupa khususnya dalam bentuk
kegiatan menggambar. Gambar anak-anak menjadi sesuatu yang penting untuk
pertumbuhannya dan merupakan refleksi anak dalam pendidikan kreatif. Melalui
gambar anak, dapat dikaji berbagai hal yang berkaitan dengan pengalaman,
fantasi, imajinasi, tingkat kecerdasan, kebebasan berekspresi, kreativitas, dan
aspek-aspek kejiwaan lainnya Guru memegang peran penting dalam pendidikan,
tentunya juga dituntut kreativitasnya agar dapat mengembangkan potensi kreatif
anak.
Berdasarkan
pendapat para ahli, gambar anak diciptakan berdasarkan penglihatan dan perasaan
terhadap lingkungannya. Adanya perbedaan tingkatan usia dan tipe pada diri
setiap anak menjadikan karyanya memiliki karakteristik yang tentunya berbeda
dengan orang dewasa atau berbeda pada tiap tingkatan usia dan tipe di antara
anak. Untuk memahami
karakteristik gambar anak-anak, ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh
seorang guru atau pendidik agar dapat memberi
motivasi dan stimulasi yang tepat yaitu:
Periodesasi.
Masa yang dilalui selama hidup manusia
biasanya dibagi-bagi, digolongkan menurut tahap-tahap tertentu berdasarkan perkembangan jasmani maupun jiwanya.Penggolongan
waktu tersebut disebut periodesasi atau pembagian masa. Demikian pula halnya
mengenai ciri-ciri gambar anak-anak, juga dapat diidentifikasi berdasarkan periodesasi.
Penggolongan periodesasi pola gambar pada anak, banyak dikemukakan para ahli
seni. Salah satu yang paling populer adalah teori dari Victor Lowenveld, ia
membagi periodesasi ciri-ciri gambar anak menjadi beberapa tahap, antara lain :
·
Tahap Coreng
moreng (2-4 tahun)
Sejak usia 2 tahun seluruh anggota badan anak berusaha
untuk sekedar digerakan, karena pengaruh syaraf motoriknya. Goresan pada tahap
menggambar ini semula tidak terarah, tebal tipis, bengkok, putus-putus, panjang
pendek tetapi dengan hasil yang serba kebetulan dan pada diri anak akan
tercapai kepuasan. Lama-lama mereka dapat menggerakkan anggota badan dengan
tujuan yang jelas. Maka terjadilah aksi coret-coret yang makin lama makin jelas
arahnya. Sehingga pembinaan pada usia ini hanyalah memberi stimulasi yang tetap
mengiyakan, membubuhi ceritanya, serta lebih mengaktifkan imajinasinya. Jadi
biarkan saja anak pada usia ini untuk lepas dalam menggambar, kita hanya perlu
mengawasinya saja dan memberi pancingan atas objek yang di gamabarnya.
·
Tahap Masa
Prabagan (4-7 tahun)
Pada masa selanjutnya yaitu masa prabagan, disini anak dapat
mengendalikan motoriknya maka anak akan dapat melihat hubungan antara yang
dihasilkan dengan bentuk-bentuk objektif. Telah terjadi perubahan dari
coret-coret ke arah bentuk yang lebih esensial. Dengan perubahan ini kita dapat
lebih mengenali dan menafsir bentuk yang ada, lama-lama akan terbentuk
bagian-bagian lain yang lebih menunjang imajinasinya. Masalah ruang belum dapat
dipecahkan, warna cenderung tidak sesuai dengan warna aslinya. Artinya pada
masa itu masih memerlukan pengenalan-pengenalan teknik yang paling mudah,
seperti menggambar kepala hanya dengan lingkaran, langit hanya dengan goresan
asal, pohon dengan gambar yang paling sederhana dll. Disini diperlukan
pembinaan yang lebih terarah pada perkembangan teknik atau cara yang secara
mudah dan memperkenalkan objek gambar lainnya (misalnya dengan cara rekreasi,
atau sejenisnya) sehingga dapat dihasilkan variasi gambar yang lain.
·
Tahap Masa Bagan
(7-9 tahun)
Pada masa ini merupakan konsep tentang bentuk dasar dari
pengalaman kreatif, anak pada usia ini telah memiliki konsep cerita yang sudah
banyak. Pengamatan telah makin teliti dan semakin tahu siapa dirinya dalam hubungan
dengan lingkungannya. Pada usia ini pengaruh guru sangat besar. Anak telah
memiliki pengalaman sosial, yaitu hal-hal yang sebenarnya sudah diketahui,
disikapi karena desakan emosi subjektifnya. Karena kesadaran meningkat, anak
mulai gelisah dan secara kritis mengontrol dirinya antara pengamatan dan
hasil-hasil gambar masa lalu. Disini peran guru bertugas mengaktifkan
pengalaman anak tersebut.
Penggambaran ruang telah muncul tetapi masih sederhana, terutama
dalam memahami lingkungan dimana mereka berada. Sebagian pengalaman ruang masih
sederhana dan diletakan dalam satu garis vertikal sebagai garis dasar.
Komposisi objek masih tumpuk-menumpuk atau tersusun ke atas. Dan pada soal
warna telah disikapi sebagaimana bentuk yang mendekati pada warna aslinya.
Misalkan warna pohon akan diberi warna hijau dan matahari akan diberi warna
kuning atau orange.
·
Tahap Masa
Permulaan Realisme (9-11 tahun)
Di usia ini anak semakin cerdas dalam memngungkapkan
imajinasinya. Konsepsi semakin
mendetail, tampilan lebih proposional, berkat meningkatnya intelektual mereka.
Rasio mulai digunakan di samping emosi subjektif. Jadi pada masa ini sudah
ditinggalkan penggambaran bagian yang dilebih-lebihkan karena fungsi aktifnya.
Artinya ia telah dengan lebih bebas menggambar figur-figur atau bentuk-bentuk
yang lebih bebas dalam seluruh bidang gambar. Hanya dalam usia ini mereka belum
banyak memanfaatkan atau kesulitan dalam persoalan perspektif. Gejala yang
paling terlihat pada usia ini adalah kedekatan figur yang lebih nyata, walaupun
pada segi warna tidak terlalu cocok dengan kenyataan.
·
Tahap Masa
Realisme Semu (11-13 tahun)
Pada masa ini telah banyak dipengaruhi oleh intelegensi yang
semakin matang. Ada pendekatan realistis dengan alam sekitar, meskipun
barangkali belum sepenuhnya kesadaran sebaik orang dewasa. Tingkah lakunya
makin gelisah, banyak bergerak dan ada gejala suka membentuk grup sebagai
manifestasi kesadaran akan perlunya kerjasama. Sehingga dalam usia ini anak
lebih mendekati perangai remaja yang memiliki seluk-beluk yang sangat
bervariatif. Untuk pola gambar sudah cukup matang, pewarnaan juga sudah sesuai.
Namun bentuk yang sudah realis, masih kurang kuat dalam artian realitik tetapi
masih ada kekurangan seidikit dalam bentuknya.
Dengan adanya pembagian periodesasi dalam
kcenderungan gambar anak, maka diharapkan kita para pendidik dapat lebih peka
dalam menanggapinya. Selanjutnya tugas guru adalah membimbing dan mengarahkan
tiap anak didiknya yang mempunyai kecenderungan secara umum yaitu kecerdasan
visual spatial.
ESENSI IDE DALAM SENI RUPA.....blog baru 2014
ESENSI IDE DALAM SENI RUPA
ESENSI IDE DALAM SENI RUPA
Dalam dunia seni rupa
umumnya dikenal ada dua struktur, yaitu struktur isi (bentuk) dan tema
(ide). Sebuah karya seni tercipta melalui dua unsur itu yang saling
melengkapi, sehingga karya seni yang tercipta dalam kesatuan antara ide
dan bentuk. Struktur atau elemen bentuk seni rupa antara lain warna,
garis, bidang, tekstur yang menghasilkan objek dalam karya seni
tersebut. Dimana unsur-unsur tersebut sebelumnya sudah dijelaskan, di
posting blog saya ini. Selanjutnya tema atau ide yang membangun
terciptanya sebuah karya seni, sebenarnya ada empat macam. Struktur ide
tersebut antara lain Citra, Metafora, Simbol, dan Mitos. Berikut akan
dijelaskan dengan pendekatan dan gaya penulisan menurut penulis.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi teman-teman pembaca. Salam
budaya dan selamat membaca…..
1. Citra.
Citra, mungkin
kita sering mendengar istilah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi apakah kita telah memahami apa sesungguhnya citra itu. Citra
menurut kajian psikologis berarti reproduksi mental, suatu ingatan masa
lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi serta tidak bersifat
visual. Sedangkan menurut pendekatan semiotika atau ilmu tentang tanda,
citra adalah sesuatu yang tampak oleh indra, tetapi tidak memiliki
eksistensi substansial. Sebenarnya suatu citra itu terbentuk melalui
suara(verbal) dan gambar(visual. Tetapi menurut teoritikus sastra Ezra
Pound, menerangkan bahwa citra bukan gambaran fisik, melainkan sebagai
sesuatu yang dalam bentuk sekejab dapat menampilkan kaitan pikiran
dengan emosi yang rumit. Pencitraan visual merupakan penginderaan atau
persepsi, sekaligus mewakili pada sesuatu yang tampak, sesuatu yang
berada di dalam(inner).
Sehingga dalam
seni rupa, yang muncul adalah citra yang ditimbulkan oleh indra
penglihatan kita. Penglihatan kita terhadap karya seni tersebut
disalurkan ke otak melalui impuls saraf, sehingga terjadilah suatu rasa
dalam melihat karya tersebut. Ketika seniman mencipta sebuah karya seni
dengan berbagai macam bentuk, maka secara tidak langsung seniman
tersebut menciptakan citra dalam karya tersebut. Citra dalam karya seni
atau lukisan berlaku pada semua jenis aliran. Sebagai contoh ketika kita
melihat jenis lukisan pemandangan atau mooi indie yang menebarkan rasa
kedamaian melalui objek gunung, pegunungan, sawah, laut, lembah yang
teduh, ngarai dan sungai-sungai yang jernih. Sehingga citra yang
dimunculkan dari karya jenis ini, adalah citra yang nyaman, tenang, dan
eksotik. Begitu juga sebaliknya ketika kita mengapresiasi karya Raw art,
Pastiche, atau abstrak, yang menggunkan teknik cipatran cat, dan bentuk
yang ekpresif, sehingga kita kita mencerap sebuah citra yang bergerak
dan aktif dalam lukisan tersebut.
Lebih jauh,
Thomas W. J. Michael mengusulkan tipologi citra dengan membedakan
beberapa kelas citra sebagai berikut. 1. Citra Grafis(lukisan, gambar,
patung, desain) 2. Citra Optikal(cermin, proyeksi) 3. Citra
Perseptual(sense data,spesies, penampakan) 4. Citra
Mental(metafora,deskripsi). Dengan demikian jelaslah citra visual atau
citra grafis merupakan bagian dari ide, sadar atau tidak seniman
menciptakan citra visual. Melalui bentuk, garis, warna, bidang, tekstur
dan komposisi, terciptalah sebuah objek dan munculah citra visual. Untuk
lebih jelasnya bagaimana citra visual bekerja, disini akan dikutip
pemikiran dari Edmund Burke Feldman, sebagai berikut :
“seaorang melihat
citra(images) bukan benda(things) sensasi cahaya yang jatuh pada retina
ditransmisikan sebagai impuls energi pada otak yang secara simultan
menerjemahkan kedalam entitas bermakna yang disebut citra. Tidak saja
ada sebuah gambar, sebuah proyeksi optis, didalam didalam otak sendiri.
Perseptik terjadi dimata tentunya, akan tetapi persepsi merupakan
fungsi dari otak. Kita tidak dapat mengalami sensasi tanpa menguraikan
cirinya dengan cara tertentu, memberinya labels, memuatinya dengan
makna. Citra dengan demikian dapat difenisikan hasil pemuatan sensasi
optis dengan makna”
Jenis Lukisan Pemandangan yang mencitrakan kedamaian dan ketenangan. |
2. Metafora (Metaphor)
Metafora
adalah sebuah model interaksi tanda, yang didalamya sebuah tanda dari
sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan makna untuk sebuah sistem
lainnya. Atau dengan kata lain meminjam bentuk, tulisan, atau verbal
untuk menghasilkan makna baru melalui wujud yang lain. Metafora secara
tradisional ditandai dengan tiga pilar ada pokok pertama: metafora
merupakan sesuatu yang dikenakan pada benda maka untuk berabad-abad
lamanya, metafora hanya diberikan dengan benda saja. Kedua: metafora
didefinisikan dalam konteks gerakan. Metafora dalam konteks ini dikenal
dengan istilah Ephipora, adalah semacam perpindahan atau gerakan
“dari…ke…” dalam konteks ini metafora berlaku untuk segala bentuk
transposisi.
Metafora
merupakan transposisi sebuah nama yang asing, yakni nama yang sebetulnya
milik sesuatu yang lain. Berdasarkan penjelasan di atas metafora
meliputi bentuk (visual, gerak atau kinetik) dan ucapan (verbal),
sehingga metafora memakai media-media tersebut untuk menghasilkan makna
baru dari suatu bentuk atau komposisi. Tetapi menurut Paul Ricouer,
dalam bukunya yang berjudul The Rule of Methapor
(1977) mengungkapkan bahwa metaforis yang sebenarnya tidak pada kata
(verbal) tidak pada kalimat bahkan tidak pada wacana melainkan pada
kopula kata “adalah”.
Kopula
kata disini mengandung pengertian “adalah seperti” dan sekaligus “adalah
bukan”. Seperti pada kalimat “manusia adalah seekor babi” tentu bila
kita berbicara metafora bukan berarti manusia itu sosok babi, disini
metafora bekerja “adalah seperti” babi, yang mempunyai makna bahwa
manusia itu berkelakuan kotor dan pemalas seperti babi. Sehingga dalam
konteks ini metafora berlaku dalam disiplin linguistik. Pendapat Paul
Ricouer yang menempatkan metafora tidak pada kata, kalimat, atau benda
(visual) maka kehadiran benda, kata, kalimat hanyalah sebagai sebuah
presentasi dari fakta atau sistem.
Dalam
konteks seni rupa, metafora merupakan bagian yang cukup penting dalam
melukiskan, atau membuat makna baru dalam sebuah karya seni. Sebenarnya
dalam konteks seni rupa intinya sama dengan konteks linnguistik
(verbal), hanya medianya yang berbeda yaitu dengan bentuk visual atau
gambar. Dalam seni rupa metafora bekerja melalui peminjaman bentuk atau
objek untuk menghasilkan sebuah makna. Fungsi metafora dalam seni rupa,
mungkin bekerja pada pengaburan makna yang ekstrim, negatif atau
sebagainya.misalkan pada sebuah karya seni lukis, dilukiskan seekor
tikus dengan bentuk menyerupai manusia sedang membawa brankas uang atau
kantong uang. Sehingga dalam lukisan tersebut dapat diartikan seorang
manusia yang rakus akan uang atau duniawi.
Sebagai
contoh lainnya misalkan lukisan Djoko Pekik berjudul Raja Celeng 1998.
Dalam lukisan tersebut dilukiskan penangkapan raja celeng yang gemuk
ditengah kerumunan manusia. Dalam hal ini Djoko Pekik memakai metafora
binatang sebagai bahasa ungkapan dalam karya seninya. Pada periode
tersebut keadaan bangsa Indonesia sedang dalam situasi yang carut-marut,
penggulingan Rezim sehingga dalam lukisan tersebut memunculkan
interpretasi yang beragam seperti sakit hati, balas dendam, kelaparan,
atau bahkan kematian yang tragis.
Lukisan Djioko Pekik, yang menggunakan metafora binatang celeng sabagai bahasa ungkap. |
3. Simbol (Symbol)
Simbol
muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk bebagai
tujuan. Simbol dapat dapat hadir dalam beberapa disiplin ilmu seperti
logika, matematika, semantik, kimia, seni rupa dan seni lainnya.
Pengertian simbol adalah sebuah tanda konvesional yang disetujui bersama
oleh suatu kelompok atau komunitas tertentu. Jadi makna symbol telah
dikontruksi oleh sistem masyarakat dalam suatu wilayah. Simbol dalam
kajian semiotika adalah tanda yang berhubungan penanda dan petandanya
bersifat arbiter(sewenang-wenang). Dan menurut Ferdinan D. Saussure,
sewenang-wenang artinya tidak ada hubungan alamiah antara bentuk atau
penanda dengan makna atau petanda. Sebagai contoh, kata gelas, adalah
sebuah tempat air untuk minum, bukan untuk tidur. Maka dari sistem
pertandaan tersebut, symbol telah dikontruksi oleh sistem sosial
masyarakat. Maka dari itu suatu bentuk simbol yang sama akan berbeda
makna apabila berada di territorial yang berbeda. Misal, ular disuatu
tempat menyimbolkan kejahatan atau setan, tetapi di tempat lain ular
dapat berkonotasi sebagai keberanian atau sifat dewa.
Penjelasan
di atas masih dalam konteks linguistik, lantas simbol dalam seni rupa
seperti apa penggunaannya. Sebenarnya penempatan simbol dalam seni rupa
hampir sama dengan konteks linguistik, hanya saja dalam seni rupa yang
bekerja adalah unsur visual bukan verbal. Dalam konteks seni rupa,
simbol dapat dikontruksi sedemikian rupa oleh si seniman. Sang kreator
dapat menciptakan simbol-simbol melalui karya seni lukis, grafis, patung
dan sebagainya. Pemakaian simbol dalam seni rupa bertujuan untuk
meyampaikan pesan yang terkandung dalam sebuah karya. Ketika seorang
pelukis menggambarkan seekor ular, mungkin itu sebagai simbol kejahatan
atau kelicikan. Tetapi bahasa visual tidak bebas, seperti bahasa verbal,
artinya bahasa visual itu terbatas. Missal, seorang seniman ingin
mengungkapkan makna melalui simbol, tetapi simbol tersebut tidak
terkonvensi di suatu kelompok dimana seniman itu hidup. Sehingga seniman
dituntut kreativitasnya untuk menciptakan simbol baru, untuk
menciptakan makna baru, maka dari itu simbol dapat bersifat personal.
Sehingga
dalam konteks simbolisasi ini, telah terjadi dekontruksi pertandaan yang
bersifat sewenang-wenang, menjadi permainan bebas tanda. Mengacu pada
pemikirin Jaques Derrida, tokoh poststrukturalis, yaitu tentang
dekonstruksi tanda untuk menghasilkan makna baru. idak Menurut Derrida,
bahwa petanda(makna) tidak harus diterima sebagai konvensi, ia harus
dibongkar dan didekonstruksi. Selanjutnya hubungan antara penanda dan
petanda tidak bersifat simetris atau baku, akan tetapi terbuka bagi
permainan bebas tanda, sebuah permainan yang akan membawa pembaharuan.
Maka dari
itu, dalam konteks seni rupa seniman diberi kebebasan penuh untuk
melukiskan simbol-simbol baru. Seniman dengan polda pikir yang berbeda
diharapkan dapat menciptakan simbol-simbol baru melalui karyanya.
Sehingga dari tersebut akan lebih kaya dengan bentuk atau objek visual
yang baru. nilai simbolik dalam karya seni dapat berubah, tidak hanya
berpatokan pada nilai konvensional masyarakat. Konsep tentang permainan
bebas tanda ini relevan juga dengan teori dari pemikir
post-strukturalis, Julia Kristeva. Ia menjelaskan tentang model
pemaknaan, salah satunya adalah significance,
yaitu pemaknaan yang menghasilkan makna-makna subversive dan kreatif,
suatu proses penciptaan tanpa batas dan tak terbatas. Proses penyaluran
kapasitas-kapasitas sebjektifvitas pada diri manusia melalui ungkapan
bahasa.
4. Mitos.
Istilah
keempat adalah mitos, mungkin identik dengan cerita bohong atau
khayalan. Istilah mengacu dalam bidang agama, antroplogi, sosiologi,
psikologi dan seni rupa. Pengertian mitos adalah khayalan atau sacara
ilmiah adalah sejarah yang tidak benar. Mitos telah menampati posisis
yang penting dalam kehidupan manusia, hal ini dapat ditelusuri
keberadaan mitos sejak zaman kuno. Dalam masyarakat primitive, mitos
digunakan untuk menandai sesuatu yang sacral atau suci. Sebenarnya nilai
substansial dari mitos itu telah dikonstruksi untuk mengalihkan atau
mengaburkan makna. Mitos dipakai untuk mengalihkan makna pada suatu
tempat atau bentuk, tetapi secara substansial dalam mitos itu tersimpan
makna sebenarnya. Sebagai contoh, cerita rakyat memitoskan bahwa didalam
gua ada seekor ular besar yang akan memangsa manusia yang berbuat
merusak dan jahat. Mitos tersebut yang tampak adalah makna tersurat,
tetapi nilai substansial dari mitos tersebut adalah sebagai peringatan
manusia supaya tidak melakukan tindakan merusak alam.
Sedangkan
menurut kajian semiotika, mitos merupakan sisi lain dari bahasa. Menurut
Roland Barthes, mitos adalah pengkodean makna dan nilai-nilai
sosial(yang sebetulnya arbiter atau konotatif), sebagai sesuatu yang
dianggap alamiah. Menurut Roland Barthes, mitos adalah nilai-nilai
sosial dalam khidupan manusia, ketika kita berbicara kehidupan sosial
kita, maka pada hari itu menjadi mitos. Disini dapat ditarik kesimpulan
juga, bahwa mitos merupakan bahasa simbolik yang tidak beku dan mandeg,
akan tetapi merupakan bahasa yang dapat menggairahkan dan sekaligus
menyatukan nilai-nilai budaya. Suatu budaya yang lenyap dapat diartikan
sebagai mitos yang lenyap, maka dari itu substansi dari mitos adalah
pola permainan bahasa untuk menghasilkan makna.
Lantas
seperti apa peranan mitos dalam dunia seni rupa, mitos dalam seni rupa
merupakan bahasa ungkap dan maksud sang seniman. Jika seorang seniman
menyatakan perlunya menyatu dengan masyarakat, memerlukan legitimasi dan
pengajuan status sebagai seniman yang berfungsi di masyarakat. Peran
mitos menjadi sarana pencarian sudut pandang dalam pencapaian tujuan
tertentu. Dan tentunya penyampaian makna dalam sebuah karya seni.
Misalnya, pelukis Raphael mencoba menciptakan lukisan School of Athens.
Lukisan ini mencoba menceritakan cerita nyata pada zaman Yunani,
tentang iklim pemikiran tentang alam semesta dan filsafat manusia.
Dengan berbagai sumber dan data yang berhasil dirangkum, Raphael mencoba
mengungkap dari sisi dramatis dan spirit suasana pada waktu itu. Dengan
demikian Raphael mencoba memberi tawaran bahasa dalam melihat
kenyataan, dan ia sebenarnya telah menggunakan sekaligus menciptakan
mitos.
Lukisan Raphael, School of Athens, yang mencoba menawarakan bahasa unkap lewat mitos |
Dengan
mempelajari dan mengetahui tentang citra, metafora, simbol dan mitos
dalam seni rupa yang pada masa lalu dianggap sebagai dekorasi dan
retorika. Maka wacana tersebut dapat member fungsi mendalam tentang
menguak karya seni rupa. Dengan adanya ide tentang citra, metafora,
simbol dan mitos, dapat membantu kita mencari makna, tanda dan
pengkodean dalam karya seni rupa. Dengan adanya ide tersebut sekaligus
memperkaya wujud, konsep, dan objek dalam seni rupa. Dan ide tersebut
membebaskan dari sistem yang sudah ada dan terkungkung pada wacana yang
sudah berlalu. Muatan-muatan ide melalui keempat istilah tersebut
menjembatani pambagian dan pengkajian karya seni rupa, atas komponen
bentuk dan teknik yang dirasa sudah biasa, kehadiran dan keberadaannya
memberi kekayaan visual dan sekaligus keberagaman makna.
Gubahan Estetika Dalam Seni Rupa....blog baru 2014
Gubahan Estetika Dalam Seni Rupa.
GUBAHAN ESTETIKA
Dalam seni rupa dikenal istilah “Gubahan Estetika” dalam merespon sebuah
karya seni untuk memunculkan sebuah bentuk baru. Istilah ini mungkin
kalau dalam seni musik dikenal dengan istilah “Aransemen”, tetapi disini
penulis memakai istilah tersebut di atas. Ketika karya seni rupa yang
cenderung meniru alam, yaitu melukiskan kondisi alam sesuai dengan
aslinya. Pola pelukisan alam memang sudah sangat tua, setua dengan
sejarah umat manusia itu sendiri. Mungkin ini dapat ditandai pada jaman
Paleolitikum, di jaman itu dapat ditelusri tonggak dalam seni rupa. Di
jaman itu dapat kita lihat dalam lukisan-lukisan yang ada di
langit-langit gua Chauvet,Lascaux, di Prancis . Lukisan-lukisan gua
tersebut menggambarkan binatang-binatang, sebagai presentasi tentang
alam yang memberi kehidupan. Dari periode ke periode selanjutnya alam
jadi pusat ide,ini bisa dilihat sejak era Prasejarah, Sejarah, Klasik,
Renaisance, Modern sampai Kontemporer, alam masih tetap sebagai sumber
inspirasi dari para seniman.
Hingga pada era modern muncul pemikiran dan pergerkan tentang
konsep-konsep baru dalam seni rupa. Yaitu konsep seni yang tidak hanya mimesis
terhadap alam, sehingga muncul gerakan seni rupa yang baru. Mungkin ini
dapat ditandai dengan munculnya Surealisme, Dadaisme, Kubisme, dan
Abstrak. Walupun tidak murni mengilangkan alam , masih tetap ada nuansa
alam, hanya saja ada sedikit perubahan, penambahan,pengurangan dan
kombinasi. Berikut akan dijelaskan beberpa konsep atau gubahan dalam
penciptaan karya seni yang dalam bentuk yang berbeda.
1. Disederhanakan (Diminimalisasi)
Dalam karya seni rupa ini dapat ditemui gubahan pada bentuk yang
disederhankan. Objek dalam karya seni ini memang masih dapat terbaca
atau terlihat bentuknya, walaupun tidak sempurna. Ketidaksempurnaan
bentuk itu bukan berarti tidak indah atau bagus, justru dengan
penyederhanaan bentuk tersebut dapat tercapai nilai artistik yang baru.
Ketika bentuk relistis itu mencapi titik puncak maka akan
pengolahan-pngolahan untuk menciptakan bentuk-bentuk seni yang berbeda,
untuk mencapai kebaruan dalam estetika. Karya-karya seni rupa yang
bercorak minimalis dapat dilihat pada karya seni lukis yang cenderung
naïf, dan pop art. Dalam karya-karya tersebut tidak ditemui realis yang
benar-benar raelistik,yang timbul hanya kesan bentuk yang sederhana dan
tanpa kedalaman.
Salah satu lukisan jenis Naif, yang sederhana tetapi artistik. |
2. Dirubah bentuk (Deformasi)
Ketika dalam karya yang mimesis mencapai titik puncak kreatifitas, maka
timbulah ide untuk merubah bentuk tersebut tanpa mengubah subtsansi dari
objek tersebut. Kecenderungan ini muncul melalaui proses yang panjang,
ketika titik jenuh dalam seni rupa mengampiri maka dari itu muncul
konsep baru untuk merespon seni tersebut. Kemunculan pola seperti ini
mungkin dapat ditelusuri sejak periode Dadaisme dan Surealisme. Kedua
aliran dalam seni rupa ini menandai era pemikiran baru dalam dunia seni.
Dimana konsep seni rupa yang baru ini lebih mengekplorasi tema-tema
seperti, perang, teknologi, sosial , kemanusiaan, masa depan atau bahkan
psikologis (alam bawah sadar). Dalam lukisan-lukisan surealisme dapat
dijumpai objek yang terdeformasi, dimana objek dalam lukisan tidak murni
sesuai dengan alam, tetapi telah mengalami perubahan bentuk.
Karya-karya jenis ini dapat dilihat pada karya-karya maestro surealime
seperti Rene Magrite, Salvador Dali, kalau dari negeri sendiri dapat
dilihat pada lukisan Ivan Sagita, Agus Kamal dan Effendi.
Burning Giraffe,karya Salvador Dali yang mengubah objek asli menjadi objek yang baru |
3. Dihancurkan (Destruksi)
Bentuk yang paling ektrem mungkin gubahan dengan pola dihancurkan,
pengertian destruksi disini lebih menekankan bentuk yang artistik dan
berbeda. Destruksi merupakan puncak gubahan dalam seni rupa, dimana
bentuk alam serasa sudah habis untuk diekplorasi. Tetapi disisi lain
objek yang ditampilkan merupakan wujud presentasi dari alam, seperti
binatang, tumbuhan, atau objek-objek yang lain. Pola penciptaan di seni
rupa ini muncul kira-kira pada periode Surealisme, ekpresionisme, sampai
kubisme. Bentuk seni yang lebih menekankan pada pola destruksi, dapat
dijumpai pada sebagian lukisan Surealisme, dan kubisme. Tetapi yang
cukup signifikan adalah pada jenis lukisan Kubisme. Ini bisa dilihat
pada lukisan-lukisan Pablo Picasso, yang memecah objek lukisan tersebut
hingga nyaris mendekati abstrak.
L'A Ficionado, 1912, karya Pablo Picasso yang menghancurkan objeknya menjadi suatu karya baru. |
4. Dilebih-lebihkan (Distorsi)
Gubahan estetika yang terakhir adalah pola pembentukan objek yang
terdistorsi. Pola ini juga sebagai respon dari kejenuhan pada
bentuk-bentuk yang realistik, yang mungkin sudah biasa dalam dunia seni
rupa. Suatu ide akan terus berkembang untuk mencapai sesuatu yang baru.
Begitu pula yang terjadi dalam dunia seni rupa, ide untuk menghasilkan
untuk karya seni yang baru dan berbeda akan terus bergolak.
Kecenderungan karya dalam bentuk yang terdistorsi dapat dilihat pada
karya-karya jenis Dekoratif, Surealisme, Raw art dan Kontemporer. Objek
yang terdistorsi dapat berupa bentuk objek yang dibesar-besarkan,
dipanjangkan, dilebarkan dan sebagainya. Sehingga objek itu tidak lagi
realistik , walaupun bentuk asli masih tetap terlihat. Karya lukisan
dengan pola seperti ini banyak di jumpai pada karya-karya seniman negeri
kita sendiri seperti Hendra Gunawan, Richard Winkler, Nasirun dan Bob
Sick.
Fruits Of Prosperty, karya Richard Winkler, pelukis kelahiran Swedia yang melukis objek kehidupan di Bali. |
5. Dihilangkan (Abtraksi)
Pola abstraksi dalm seni rupa merupakan puncak dalam rangkaian ide,
dalam mengeksplorasi suatu objek. Dimana objek alam dirasa sudah terlalu
biasa, sehingga muncullha ide untuk menciptakan sesuatu yang baru. Pola
dalam seni rupa abstraksi adalah menghilangkan bentuk secara total,
sehingga yang ada hanyalah tanpa objek atau wujud yang real. Dalam
lukisan abstrak semua bentuk iti merupakan bentuk-bentuk yang tidak
real, semua itu hanya wujud represntasi. Bentuk dalam lukisan abstrak
memang tidak terbatas, tidak beraturan, tetapi ada juga yang terkonsep,
tapi kesemuanya itu untuk pencapaian tingkat estetika yang baru. Periode
abstrak dalam seni lukis dapat ditelusuri sejak periode Impressionisme,
dan mulai muncul ketika post-impressionisme dengan tokohnya adalah Paul
Cezanne. Ketika itu Paul Cezanne adalah pelukis Post-imprrssionsme,
yang dalam lukisannya menggambarkan alam, lingkungan, alam benda. Tetapi
progresi lukisan Paul Cezanne, yang semakin lama menuju Abstrak, ini
ditandai dengan objek lukisan yang nyaris tidak dapat terbaca. Hingga
pada perkembangan lebih lanjut munculah pelukis-pelukis abstrak seperti
Jackson Pollock, dengan Abstrak Ekspresionisme. Untuk pelukis abstrak di
Indonesia sendiri cukup banyak, mungkin pola penciptaan lukis abstrak
cenderung gampang. Siapa saja bisa melukis abstrak, tetapi apakah
lukisan itu artistik atau bernilai high art. Mungkin yang benar-benar
konsisten dalam lukisan abstrak mungkin ada beberapa, konsisten dalam
tema dan estetika seni rupa.Salah satu karya lukisan Paul Cezzane, Mount Sain Voctoire, yang hampir Abstrak dalam objeknya. |
Lukisan Abstrak, karya pelukis Abstrak Ekpressionisme dari Amerika, Jackson Pollock. |
Fungsi Seni dalam Kehidupan....blog baru 2014
Fungsi Seni dalam Kehidupan
FUNGSI SENI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Kemunculan seni rupa atau seni pada umumnya memang sudah sangat tua,
sejak mulai zaman Prasejarah seni sudah diciptakan di gua-gua, tempat
pemujaan, candi, Bahkan kuburan. Keberadaan seni pada waktu itu
mempunyai fungsi yang kontekstual, dimana seni rupa pada periode
tersebut mempunyai kepentingan yang sesuai dengan kondisi manusianya.
Menjadi jelaslah bahwa kemunculan seni, baik seni yang non fisik dan
fisik mempunyai fungsi bagi manusia atau kehidupan manusia. Seni ikut
berperan dalam progresi peradaban manusia di dunia, sejak zaman
Prasejarah sampai Kontemporer. Berikut akan dijelaskan fungsi seni yang
hadir dalam peradaban manusia didunia ini, dalam tulisan berikut akan
dijelsakan fungsi seni menurut teori dari L.H. Chapman. Menurut Chapman
fungsi dari seni dibagi menjadi enam bagian, yaitu fungsi pribadi,fungsi
masyarakat,fungsi fisik, fungsi keagamaan, fungsi pendidikan dan fungsi
ekonomi. Berukit ini akan coba saya uraikan dengan bahasa saya sendiri,
dan semoga bermanfaat bagi teman-teman pembaca.
Laura. H Chapman |
Fungsi seni dalam kehidupan manusia, antara lain :
1. Fungsi Pribadi (Individual)
Pengertian fungsi seni dalam individu, adalah konsep penciptaan seni
yang lebih menekankan pada proses emosional dari sang seniman. Disini
peran seniman sebagai kreator dalam menciptakan sebuah karya seni, semua
ide, imajinasi, pemikiran dituangkan sehingga menghasilkan sebuah karya
seni. Bagi seorang seniman karya seni itu mencitrakan pemikiran dan
karakter psikologis dari si penciptanya. Oleh sebab itu ketika seseorang
apresiator mengamati sebuah karya seni, disitu dapat dibaca karakter
dari si seniman. Bagi seniman juga akan tecapai kepuasan jiwa atau diri,
ketika semua konsep pemikirannya telah tertuang dalam karya. Perlu
ditekankan disini fungsi individu dari seni itu dapat tercapai dengan
sempurna, jika seniman itu berkarya dengan jujur, berkarya dengan hati.
Penulis sedang membuat karya, untuk kepentingan pribadi (individual) |
2. Fungsi Masyarakat (social)
Setiap karya seni yang diciptakan seniman, pada umumnya akan disajikan
kepada masyarakat atau audiens. Ketika karya seni itu hadir di dalam
masyarakat, maka disitulah terjadi interaksi antara audiens dan karya
seni tersebut. Distu karya seni di nikmati, diamati, diapresiasi,
sehingga timbullah proses komunikasi. Dalam mengamati sebuha karya seni
rupa, apresiator dapat dengan bebas menilai, mencari, dan menggali makna
visual dari sebuah karya seni rupa. Fungsi seni dalam masyarakat dibagi
menjadi dua bagian yaitu fungsi rekreasi dan fungsi komunikasi. Fungsi
seni di masyarakat yang berhubungan dengan rekreasi atau wisata, apabila
karya seni itu dikonsep atau diprogram untuk menarik wisatawan. Dalam
hal ini para apresiator dapat menikmati sebuah karya seni secara
langsung dan tidak lansung. Pengamatan secara langsung ini dapat kita
jumpai misalkan pada pameran seni lukisan, pameran patung dan seni
publik. Sedangkan apresiasi karya seni yang tidak langsung, mempunyai
pengertian apabila karya seni tersebut tidak dijadikan konsep utama.
Artinya sebuah karya seni tersebut hanya sebagai pelengkap dalam suatu
acara atau bangunan. Ini dapat dijumpai misalkan lukisan yang terpajang
di restaurant, hotel, dan perkantoran.
Salah satu fungsi seni kepada masyarakat, dalam apresiasi karya seni. |
Sedangkan fungsi seni dalam pengertian komunikasi adalah, dimana sebuah
karya seni itu mempunyai pesan visual yang akan disampikan kepada
masyarakat. Dalam konteks ini karya seni menjadi mediator antara sang
produsen dengan audiens. Karya seni rupa dapat dikatakan berhasil
menyampaikan pesan, apabila makna dari sebuah karya tersebut dapat
dicerna dan dipahami oleh audiens atau apresiator. Kecenderungan karya
seni rupa yang mempunyai muatan pesan,dapat dijumpai pada karya seni
Reklame. Dengan adanya karya-karya reklame seperti poster, spanduk,
neonbox, banner dan pamphlet, sebagai karya seni terapan yang
penggunaannya lebih kepada fungsi komunikasi. Perlu dijelaskan lebih
dalam mengenai jenis karya seni diatas, mungkin kurang mempunyai nilai
artistik dan lebih mementingkan nilai yang sederhana dan sedikit
kerumitan. Tetapi bukan berarti karya tersebut bukan karya seni, semua
itu masuk dalam kategorisasi karya seni rupa, jika memiliki nilai
estetika yang tinggi. Sebaliknya jika karya seni tersebut , tidak
mempunyai nilai estetika yang tinggi, maka karya seni tersebut bisa di
kategorikan sebagai jenis Low Art, Pastiche, atau Kisch.
Contoh karya lukisan jenis Pastiche atau low art |
3. Fungsi fisik.
Pengertian fungsi seni secara fisik ini erat hubungannya dengan seni
pakai atau nilai guna. Karya seni memang dalam kehidupan sehari-hari
mempunyai fungsi, sebagai sarana penunjang kehidupan. Kekurangan dari
karya seni yang berorientasi pada fungsi fisik yaitu terabaikannya nila
estetika dari karya tersebut. Hal ini memang sudah terkonsep dari
kreator atau seniman. Pembuatan karya seni tersebut hanya menekankan
pada fungsi fisik, enak dipakai, nyaman digunakan dan efesien. Sehingga
terdapat kecenderungan karya seni seperti ini mempunyai nilai artistik
yang rendah. Karya seni ini dapat kita jumpai di seni kerajinan, seperti
kursi, mebel, keramik, perabot, asesoris dan fashion.
Bentuk seni yang berorientasi pada nilai guna |
4. Fungsi Keagamaan (Religious)
Seni rupa atau seni lainnya memang ikut andil dalam ranah agama atau
religious. Kemunculan seni rupa sejak zaman pra sejarah sampai modern,
secara subtansial terdapat fungsi dalam suatu kepercayaan. Karya-karya
seni yang erat hubungannya dengan fungsi religious ini dapat ditelusuri
mungkin sejak zaman Renaisans. Di Italia pada abad 15, abad dimana
pergolakan pemikiran dan kreativitas dieksplorasi munuju pencerahan.
Seniman Renaisans pada waktu itu berkarya untuk kepentingan gereja,
denga dukungan dari penguasa atau bangsawan. Peran seniman pada zaman
itu sangat berpengaruh dalam menciptakan karya seni yang religious
sebagai penunjang peradaban Renaisans. Seniman-seniman terkenal seperti
Philipo Brunelesci, Leonardo da Vinci,Michaelangelo, Andrea Mantegna,dan
Rphael, melukis dan membuat patung untuk kepentingan gereja.
Karya-karya mereka menghiasi gereja-gereja sebagai representasi terhadap
tuhan Yesus.
The Last Supper, salah satu lukisan dari Leonardo da Vinci,yang di lukis pada salah satu gereja |
Begitu juga yang terjadi di belahan dunia timur atau dunia Arab. Di
wilayah timur yang sebagian besar menganut ajaran islam, memang tidak
begitu dominan memunculkan seniman, walaupun itu ada tapi mungkin tidak
tereskpos. Karya seni yang bernuansa islami ini, dapat dijumpai pada
masjid-msjid berupa kaligrafi Arab. Seni kaligrafi memang identik dengan
dunia arab,tetapi bila dipahami lebih dalam pengertian kaligrafi adalah
seni tulis menulis atau menulis indah. Oleh sebab itu kaligrafi dapat
di jumpai di berbagai perdaban manusia, Bukan hanya di peradaban Islam.
Tetapi mungkin dalam perkembangannya kaligrafi Islam lebih dominan,
karena faktor banyaknya penganut agama tersebut.
Contoh lukisan kaligrafi Arab |
5. Fungsi Pendidikan (Education)
Fungsi seni dalam dunia pendidikan memang berperan dalam menunjang
lancarnya proses belajar mengajar. Dalam konteks ini karya seni sebagai
mediator penyampaian pesan dalam proses belajar. Berbagai metode dalam
proses belajar mengajar dari mulai metode verbal maupun non verbal. Seni
visual atau seni rupa dapat pula diterpakan dalam pendidikan. Ketika
pesan verbal itu perlu sarana pendukung dalam bentuk visual, maka dapat
dihadirkan dalam bentuk gambar, lukisan, ilustrasi, ataupun poster. Seni
visual mungkin lebih efektif dalam penyampaian gagasan, idea tau
cerita, dengan ditunjang olah verbal. Dengan demikian jelaslah seni
dapat sebagai penunjang dalam dunia pendidikan.
Contoh gambar ilustrasi, sebagai sarana penunjang dalam pendidikan |
6. Fungsi Ekonomi (Economic)
Ketika seniman menciptakan sebuah karya seni, tentunya mempunyai tujuan
yang akan dicapainya. Tujuan dari diciptakannya karya seni adalah
pencapaian nilai artistik, hadirnya makna. Tetapi disamping itu
mempunyai tujuan yang atau fungsi lain yaitu fungsi ekonomi. Dapat
dikatakan “seniman juga butuh makan, butuh tempat tinggal”. Karya seni
yang hadir dengan tujuan komersil, perlu dipertanyakan nilai
estetikanya. Jangan sampai hanya karena tujuan komersil, nilai artistik
diabaikan. Tentunya fenomena ini dapat dijumpai di kehidupan
sehari-hari. Pertimbangan dari karya seni yang berorientasi pada nilai
ekomomi adalah untung rugi. Ketika seniman membuat karya dengan jenis
media dan ukuran yang berbeda, tentunya nilai komersil dari sebuah karya
seni itu akan berbeda.
Pelukis jalanan, yang lebih berorientasi pada nila profit |
Karya-karya seni yang tujuan utamanya adalah nilai ekonomis, umumnya
adalah seni terapan seperti arsitektur, reklame, kriya atau kerajinan
dan grafis poster. Tetapi bukan berarti seni murni tidak komersil, seni
murni seperti lukisan , patung dan grafis juga bersifat komersil. Tetapi
konteks dalam seni murni memang lebih menekankan pada nilai
artistiknya. Sehingga secara tidak langsung timbul nilai komersil dari
karya tersebut. Dalam dunia seni rupa tidak sedikit dijumpai
seniman-seniman kaya. Secara mendasar sifat seni disamping mempunyai
nilai estetika juga nilai komersil. Nilai komersil dari seni murni
adalah imbas atau efek yang ditimbulkan. Bahkan bila ditinjau lebih
dalam nilai jual seni murni seperti lukisan, patung, kadang tidak
sebanding dengan media yang di gunakan. Misalkan sebuah lukisan bisa
berharga 20 juta sampai 1 milyar atau bahkan lebih. Itulah penghargaan
pada sebuah nilai estetika dari karya seni rupa.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Jejak Hindu di Bumiayu
Menelusuri Jejak Hindu di Bumiayu Bumiayu merupakan kota kecamatan yang terletak di selatan Kabupaten Brebes. Bumiayu dalam perkemba...
-
Lukisan Dari Sampah Plastik Karya dari anak didik saya, memanfaatkan sampah plastik bekas. Sampah plastik t...
-
Sejarah dan Perkembangan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) Sejarah dan Perkembangan Persagi (persatuan ahli gambar indones...
-
PERSPEKTIF DALAM DUNIA SENI RUPA. PERSPEKTIF Pengertian perspektif. Perspektif, dalam dunia seni rupa kita tentunya pern...