ESENSI IDE DALAM SENI RUPA
ESENSI IDE DALAM SENI RUPA
Dalam dunia seni rupa
umumnya dikenal ada dua struktur, yaitu struktur isi (bentuk) dan tema
(ide). Sebuah karya seni tercipta melalui dua unsur itu yang saling
melengkapi, sehingga karya seni yang tercipta dalam kesatuan antara ide
dan bentuk. Struktur atau elemen bentuk seni rupa antara lain warna,
garis, bidang, tekstur yang menghasilkan objek dalam karya seni
tersebut. Dimana unsur-unsur tersebut sebelumnya sudah dijelaskan, di
posting blog saya ini. Selanjutnya tema atau ide yang membangun
terciptanya sebuah karya seni, sebenarnya ada empat macam. Struktur ide
tersebut antara lain Citra, Metafora, Simbol, dan Mitos. Berikut akan
dijelaskan dengan pendekatan dan gaya penulisan menurut penulis.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi teman-teman pembaca. Salam
budaya dan selamat membaca…..
1. Citra.
Citra, mungkin
kita sering mendengar istilah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi apakah kita telah memahami apa sesungguhnya citra itu. Citra
menurut kajian psikologis berarti reproduksi mental, suatu ingatan masa
lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi serta tidak bersifat
visual. Sedangkan menurut pendekatan semiotika atau ilmu tentang tanda,
citra adalah sesuatu yang tampak oleh indra, tetapi tidak memiliki
eksistensi substansial. Sebenarnya suatu citra itu terbentuk melalui
suara(verbal) dan gambar(visual. Tetapi menurut teoritikus sastra Ezra
Pound, menerangkan bahwa citra bukan gambaran fisik, melainkan sebagai
sesuatu yang dalam bentuk sekejab dapat menampilkan kaitan pikiran
dengan emosi yang rumit. Pencitraan visual merupakan penginderaan atau
persepsi, sekaligus mewakili pada sesuatu yang tampak, sesuatu yang
berada di dalam(inner).
Sehingga dalam
seni rupa, yang muncul adalah citra yang ditimbulkan oleh indra
penglihatan kita. Penglihatan kita terhadap karya seni tersebut
disalurkan ke otak melalui impuls saraf, sehingga terjadilah suatu rasa
dalam melihat karya tersebut. Ketika seniman mencipta sebuah karya seni
dengan berbagai macam bentuk, maka secara tidak langsung seniman
tersebut menciptakan citra dalam karya tersebut. Citra dalam karya seni
atau lukisan berlaku pada semua jenis aliran. Sebagai contoh ketika kita
melihat jenis lukisan pemandangan atau mooi indie yang menebarkan rasa
kedamaian melalui objek gunung, pegunungan, sawah, laut, lembah yang
teduh, ngarai dan sungai-sungai yang jernih. Sehingga citra yang
dimunculkan dari karya jenis ini, adalah citra yang nyaman, tenang, dan
eksotik. Begitu juga sebaliknya ketika kita mengapresiasi karya Raw art,
Pastiche, atau abstrak, yang menggunkan teknik cipatran cat, dan bentuk
yang ekpresif, sehingga kita kita mencerap sebuah citra yang bergerak
dan aktif dalam lukisan tersebut.
Lebih jauh,
Thomas W. J. Michael mengusulkan tipologi citra dengan membedakan
beberapa kelas citra sebagai berikut. 1. Citra Grafis(lukisan, gambar,
patung, desain) 2. Citra Optikal(cermin, proyeksi) 3. Citra
Perseptual(sense data,spesies, penampakan) 4. Citra
Mental(metafora,deskripsi). Dengan demikian jelaslah citra visual atau
citra grafis merupakan bagian dari ide, sadar atau tidak seniman
menciptakan citra visual. Melalui bentuk, garis, warna, bidang, tekstur
dan komposisi, terciptalah sebuah objek dan munculah citra visual. Untuk
lebih jelasnya bagaimana citra visual bekerja, disini akan dikutip
pemikiran dari Edmund Burke Feldman, sebagai berikut :
“seaorang melihat
citra(images) bukan benda(things) sensasi cahaya yang jatuh pada retina
ditransmisikan sebagai impuls energi pada otak yang secara simultan
menerjemahkan kedalam entitas bermakna yang disebut citra. Tidak saja
ada sebuah gambar, sebuah proyeksi optis, didalam didalam otak sendiri.
Perseptik terjadi dimata tentunya, akan tetapi persepsi merupakan
fungsi dari otak. Kita tidak dapat mengalami sensasi tanpa menguraikan
cirinya dengan cara tertentu, memberinya labels, memuatinya dengan
makna. Citra dengan demikian dapat difenisikan hasil pemuatan sensasi
optis dengan makna”
Jenis Lukisan Pemandangan yang mencitrakan kedamaian dan ketenangan. |
2. Metafora (Metaphor)
Metafora
adalah sebuah model interaksi tanda, yang didalamya sebuah tanda dari
sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan makna untuk sebuah sistem
lainnya. Atau dengan kata lain meminjam bentuk, tulisan, atau verbal
untuk menghasilkan makna baru melalui wujud yang lain. Metafora secara
tradisional ditandai dengan tiga pilar ada pokok pertama: metafora
merupakan sesuatu yang dikenakan pada benda maka untuk berabad-abad
lamanya, metafora hanya diberikan dengan benda saja. Kedua: metafora
didefinisikan dalam konteks gerakan. Metafora dalam konteks ini dikenal
dengan istilah Ephipora, adalah semacam perpindahan atau gerakan
“dari…ke…” dalam konteks ini metafora berlaku untuk segala bentuk
transposisi.
Metafora
merupakan transposisi sebuah nama yang asing, yakni nama yang sebetulnya
milik sesuatu yang lain. Berdasarkan penjelasan di atas metafora
meliputi bentuk (visual, gerak atau kinetik) dan ucapan (verbal),
sehingga metafora memakai media-media tersebut untuk menghasilkan makna
baru dari suatu bentuk atau komposisi. Tetapi menurut Paul Ricouer,
dalam bukunya yang berjudul The Rule of Methapor
(1977) mengungkapkan bahwa metaforis yang sebenarnya tidak pada kata
(verbal) tidak pada kalimat bahkan tidak pada wacana melainkan pada
kopula kata “adalah”.
Kopula
kata disini mengandung pengertian “adalah seperti” dan sekaligus “adalah
bukan”. Seperti pada kalimat “manusia adalah seekor babi” tentu bila
kita berbicara metafora bukan berarti manusia itu sosok babi, disini
metafora bekerja “adalah seperti” babi, yang mempunyai makna bahwa
manusia itu berkelakuan kotor dan pemalas seperti babi. Sehingga dalam
konteks ini metafora berlaku dalam disiplin linguistik. Pendapat Paul
Ricouer yang menempatkan metafora tidak pada kata, kalimat, atau benda
(visual) maka kehadiran benda, kata, kalimat hanyalah sebagai sebuah
presentasi dari fakta atau sistem.
Dalam
konteks seni rupa, metafora merupakan bagian yang cukup penting dalam
melukiskan, atau membuat makna baru dalam sebuah karya seni. Sebenarnya
dalam konteks seni rupa intinya sama dengan konteks linnguistik
(verbal), hanya medianya yang berbeda yaitu dengan bentuk visual atau
gambar. Dalam seni rupa metafora bekerja melalui peminjaman bentuk atau
objek untuk menghasilkan sebuah makna. Fungsi metafora dalam seni rupa,
mungkin bekerja pada pengaburan makna yang ekstrim, negatif atau
sebagainya.misalkan pada sebuah karya seni lukis, dilukiskan seekor
tikus dengan bentuk menyerupai manusia sedang membawa brankas uang atau
kantong uang. Sehingga dalam lukisan tersebut dapat diartikan seorang
manusia yang rakus akan uang atau duniawi.
Sebagai
contoh lainnya misalkan lukisan Djoko Pekik berjudul Raja Celeng 1998.
Dalam lukisan tersebut dilukiskan penangkapan raja celeng yang gemuk
ditengah kerumunan manusia. Dalam hal ini Djoko Pekik memakai metafora
binatang sebagai bahasa ungkapan dalam karya seninya. Pada periode
tersebut keadaan bangsa Indonesia sedang dalam situasi yang carut-marut,
penggulingan Rezim sehingga dalam lukisan tersebut memunculkan
interpretasi yang beragam seperti sakit hati, balas dendam, kelaparan,
atau bahkan kematian yang tragis.
Lukisan Djioko Pekik, yang menggunakan metafora binatang celeng sabagai bahasa ungkap. |
3. Simbol (Symbol)
Simbol
muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk bebagai
tujuan. Simbol dapat dapat hadir dalam beberapa disiplin ilmu seperti
logika, matematika, semantik, kimia, seni rupa dan seni lainnya.
Pengertian simbol adalah sebuah tanda konvesional yang disetujui bersama
oleh suatu kelompok atau komunitas tertentu. Jadi makna symbol telah
dikontruksi oleh sistem masyarakat dalam suatu wilayah. Simbol dalam
kajian semiotika adalah tanda yang berhubungan penanda dan petandanya
bersifat arbiter(sewenang-wenang). Dan menurut Ferdinan D. Saussure,
sewenang-wenang artinya tidak ada hubungan alamiah antara bentuk atau
penanda dengan makna atau petanda. Sebagai contoh, kata gelas, adalah
sebuah tempat air untuk minum, bukan untuk tidur. Maka dari sistem
pertandaan tersebut, symbol telah dikontruksi oleh sistem sosial
masyarakat. Maka dari itu suatu bentuk simbol yang sama akan berbeda
makna apabila berada di territorial yang berbeda. Misal, ular disuatu
tempat menyimbolkan kejahatan atau setan, tetapi di tempat lain ular
dapat berkonotasi sebagai keberanian atau sifat dewa.
Penjelasan
di atas masih dalam konteks linguistik, lantas simbol dalam seni rupa
seperti apa penggunaannya. Sebenarnya penempatan simbol dalam seni rupa
hampir sama dengan konteks linguistik, hanya saja dalam seni rupa yang
bekerja adalah unsur visual bukan verbal. Dalam konteks seni rupa,
simbol dapat dikontruksi sedemikian rupa oleh si seniman. Sang kreator
dapat menciptakan simbol-simbol melalui karya seni lukis, grafis, patung
dan sebagainya. Pemakaian simbol dalam seni rupa bertujuan untuk
meyampaikan pesan yang terkandung dalam sebuah karya. Ketika seorang
pelukis menggambarkan seekor ular, mungkin itu sebagai simbol kejahatan
atau kelicikan. Tetapi bahasa visual tidak bebas, seperti bahasa verbal,
artinya bahasa visual itu terbatas. Missal, seorang seniman ingin
mengungkapkan makna melalui simbol, tetapi simbol tersebut tidak
terkonvensi di suatu kelompok dimana seniman itu hidup. Sehingga seniman
dituntut kreativitasnya untuk menciptakan simbol baru, untuk
menciptakan makna baru, maka dari itu simbol dapat bersifat personal.
Sehingga
dalam konteks simbolisasi ini, telah terjadi dekontruksi pertandaan yang
bersifat sewenang-wenang, menjadi permainan bebas tanda. Mengacu pada
pemikirin Jaques Derrida, tokoh poststrukturalis, yaitu tentang
dekonstruksi tanda untuk menghasilkan makna baru. idak Menurut Derrida,
bahwa petanda(makna) tidak harus diterima sebagai konvensi, ia harus
dibongkar dan didekonstruksi. Selanjutnya hubungan antara penanda dan
petanda tidak bersifat simetris atau baku, akan tetapi terbuka bagi
permainan bebas tanda, sebuah permainan yang akan membawa pembaharuan.
Maka dari
itu, dalam konteks seni rupa seniman diberi kebebasan penuh untuk
melukiskan simbol-simbol baru. Seniman dengan polda pikir yang berbeda
diharapkan dapat menciptakan simbol-simbol baru melalui karyanya.
Sehingga dari tersebut akan lebih kaya dengan bentuk atau objek visual
yang baru. nilai simbolik dalam karya seni dapat berubah, tidak hanya
berpatokan pada nilai konvensional masyarakat. Konsep tentang permainan
bebas tanda ini relevan juga dengan teori dari pemikir
post-strukturalis, Julia Kristeva. Ia menjelaskan tentang model
pemaknaan, salah satunya adalah significance,
yaitu pemaknaan yang menghasilkan makna-makna subversive dan kreatif,
suatu proses penciptaan tanpa batas dan tak terbatas. Proses penyaluran
kapasitas-kapasitas sebjektifvitas pada diri manusia melalui ungkapan
bahasa.
4. Mitos.
Istilah
keempat adalah mitos, mungkin identik dengan cerita bohong atau
khayalan. Istilah mengacu dalam bidang agama, antroplogi, sosiologi,
psikologi dan seni rupa. Pengertian mitos adalah khayalan atau sacara
ilmiah adalah sejarah yang tidak benar. Mitos telah menampati posisis
yang penting dalam kehidupan manusia, hal ini dapat ditelusuri
keberadaan mitos sejak zaman kuno. Dalam masyarakat primitive, mitos
digunakan untuk menandai sesuatu yang sacral atau suci. Sebenarnya nilai
substansial dari mitos itu telah dikonstruksi untuk mengalihkan atau
mengaburkan makna. Mitos dipakai untuk mengalihkan makna pada suatu
tempat atau bentuk, tetapi secara substansial dalam mitos itu tersimpan
makna sebenarnya. Sebagai contoh, cerita rakyat memitoskan bahwa didalam
gua ada seekor ular besar yang akan memangsa manusia yang berbuat
merusak dan jahat. Mitos tersebut yang tampak adalah makna tersurat,
tetapi nilai substansial dari mitos tersebut adalah sebagai peringatan
manusia supaya tidak melakukan tindakan merusak alam.
Sedangkan
menurut kajian semiotika, mitos merupakan sisi lain dari bahasa. Menurut
Roland Barthes, mitos adalah pengkodean makna dan nilai-nilai
sosial(yang sebetulnya arbiter atau konotatif), sebagai sesuatu yang
dianggap alamiah. Menurut Roland Barthes, mitos adalah nilai-nilai
sosial dalam khidupan manusia, ketika kita berbicara kehidupan sosial
kita, maka pada hari itu menjadi mitos. Disini dapat ditarik kesimpulan
juga, bahwa mitos merupakan bahasa simbolik yang tidak beku dan mandeg,
akan tetapi merupakan bahasa yang dapat menggairahkan dan sekaligus
menyatukan nilai-nilai budaya. Suatu budaya yang lenyap dapat diartikan
sebagai mitos yang lenyap, maka dari itu substansi dari mitos adalah
pola permainan bahasa untuk menghasilkan makna.
Lantas
seperti apa peranan mitos dalam dunia seni rupa, mitos dalam seni rupa
merupakan bahasa ungkap dan maksud sang seniman. Jika seorang seniman
menyatakan perlunya menyatu dengan masyarakat, memerlukan legitimasi dan
pengajuan status sebagai seniman yang berfungsi di masyarakat. Peran
mitos menjadi sarana pencarian sudut pandang dalam pencapaian tujuan
tertentu. Dan tentunya penyampaian makna dalam sebuah karya seni.
Misalnya, pelukis Raphael mencoba menciptakan lukisan School of Athens.
Lukisan ini mencoba menceritakan cerita nyata pada zaman Yunani,
tentang iklim pemikiran tentang alam semesta dan filsafat manusia.
Dengan berbagai sumber dan data yang berhasil dirangkum, Raphael mencoba
mengungkap dari sisi dramatis dan spirit suasana pada waktu itu. Dengan
demikian Raphael mencoba memberi tawaran bahasa dalam melihat
kenyataan, dan ia sebenarnya telah menggunakan sekaligus menciptakan
mitos.
Lukisan Raphael, School of Athens, yang mencoba menawarakan bahasa unkap lewat mitos |
Dengan
mempelajari dan mengetahui tentang citra, metafora, simbol dan mitos
dalam seni rupa yang pada masa lalu dianggap sebagai dekorasi dan
retorika. Maka wacana tersebut dapat member fungsi mendalam tentang
menguak karya seni rupa. Dengan adanya ide tentang citra, metafora,
simbol dan mitos, dapat membantu kita mencari makna, tanda dan
pengkodean dalam karya seni rupa. Dengan adanya ide tersebut sekaligus
memperkaya wujud, konsep, dan objek dalam seni rupa. Dan ide tersebut
membebaskan dari sistem yang sudah ada dan terkungkung pada wacana yang
sudah berlalu. Muatan-muatan ide melalui keempat istilah tersebut
menjembatani pambagian dan pengkajian karya seni rupa, atas komponen
bentuk dan teknik yang dirasa sudah biasa, kehadiran dan keberadaannya
memberi kekayaan visual dan sekaligus keberagaman makna.
No comments:
Post a Comment